Senin, 11 Maret 2013

Puisi


            Nono Warnono:

RITUAL PERJALANAN


Langkah kembara atas bumi jagat panas menyengat
Tapak-tapak kaki tak terbilang menuju jauh  oase laksa asa
Bulat tekad menderu usaikan tugas hingga garis horison kehidupan
Torehan nasib dan hasrat menggapai harap adalah teguh komitmen
Meski jalan terjal berliku diantara jurang –jurang  misteri langkah terpedaya
Dan puing-puing cerita harus terukir mozaik dalam bingkai perjalanan

Belajar dari gemercik air dari pucuk gunung hingga muara jumpa
Siang malam menyusuri liku pematang sawah menembus hutan onak duri
Dalam dzikir syukur alam terasa dalam langgam harmoni keindahan
Biru diantara luas samodra dan riak gelombang adalah hakekat kesabaran
meski sampah godaan cobaan menggunung menghempas angan

berguru kepada rembulan di biru langit lazuardi
terang cahaya membimbing malam menuju pagi menjajakan sejuta arti
langkah ikhlas tanpa tendensi meski sepi puja-puji
sampai langit lembayung mentari menyapa untaian mimpi
meski ketika siang terang benderang  negeri sarat pertunjukan korupsi


                                                                                                            Babat Lamongan  2008




SEBUAH PERJALANAN


Laksa asa sembunyi dalam tabir seiris rembulan nan gerhana tertusuk pucuk ilalang
Dalam temaram titik kirana kejora samar-samar jalan terjal berliku terpeleset jatuh tersungkur
atas kerikil-kerikil tajam terantuk bongkahan coba
ketika hati gulana terpenjara kepiluan ratap do’a

Gempita jaman menyeruak dalam kilau fatamorgana
Saat hidup acap terpedaya keindahan bianglala dan bintang gemintang di biru langit lazuardi
Nyanyian angin membuai gelisah jiwa kerontang saat senja usia merongrong hasrat
Menunggu kepak gagak menjemput jadwal kematian

Penggal waktu dalam langkah gontai terus susuri kembara
Lantun dzikir mengalir deras membasuh hitam pekat dosa kesalahan
Jika penyesalan dalam tangis  istiqfar tak terdengar dan terabaikan oleh-Nya
Niscaya godam siksa dahsyat merajalela terasa amat mengerikan

Kemilau dunia  bukan stasiun, terminal, bandara atau pelabuhan terakhir
Kaki langit  lorong tipudaya adalah kesementaraan
Karena masih ada hidup sesudah mati


                                                                                    Bojonegoro, Nopember 2010

 
NEGERI TUHAN

Negeri tuhan kota-kota sarat jelaga pekat merajalela hasrat
Penggede mendewa-dewakan ekonomi mendirikan pabrik-pabrik industri gedung rakyat pencakar langit, deru kendaraan dengan jumlah tak terkendali adalah   kecamuk ambisi karena  parameter kesejahteraan semata ukuran duniawi.
Membuta tuli saksikan nafas-nafas tersengal rakyat jelata orang –orang urban terpinggirkan, petani  menjerit kehilangan sawah ladang, pajak dan retribusi jadi bancaan dimana-mana.

Negeri tuhan rakyat banyak menyembah dan mengkultus individukan pemimpin julig membangun citra dogma menutupi kebobrokan sesungguhnya. Tangis dan keluh kesah adalah kamuflase dibalik topeng ketidakjujuran menyembunyikan  kegagalan karena janji-janji pepesan kosong yang tak pernah terealisasi antara orasi-orasi meninabobokkan mimpi-mimpi.

Negeri tuhan pembesarnya mengagung-agungkan hukum keadilan seperti dagelan. Punggawa-punggawa dengan gagah perkasa menyeret dan memenjarakan ulama tidak berdosa sementara betapa harga diri kehormatan bangsa negara diinjak-injak bangsa tetangga mereka diam seribu bahasa. Menjarah uang negara bersembunyi dibalik polecy adalah pemandangan yang dapat disaksikan tanpa merasa berdosa.

Negeri tuhan rakyatnya memuja-muja kemolekan, meniru tingkah polah selebriti dan bintang-bintang iklan menjajakan aurat dan tipu daya di televisi jadi konsumsi setiap hari. Rasa santun tereduksi gaya hidup global yang bebas liar tiada kendali tanpa norma yang telah tergilas laju modernisasi.

Negeri tuhan surau masjid megah dimana-mana diantara pengeras suara memekakkan telinga, plesir ke tanah suci jadi gaya hidup tanpa dampak berarti, Jumlah jamaah judi dan prostitusi mengalahkan barisan sholat yang dapat dihitung dengan jari jemari. Inilah eksistensi negeri paradok.

Negeri tuhan,
Para punggawa mentuhankan ambisi duniawi
Rakyatnya melupakan Tuhan yang sesungguhnya
Karena pemimpin dan rakyat mentuhankan dirinya sendiri

                                                                                                            Bojonegoro, 2010


MAHA DALANG


Pakeliran dimulai wayang-wayang jejer lampu blencong dinyalakan
Waranggana melantunkan gendhing dengan gamelan sesendonan
Dhog! Dhog! Dhog!
Cempala dibunyikan dalang lagu bertalu-talu
Penonton terkesima ketika wayang mulai dimainkan sesuai perannya
Cerita mengalir langgam kehidupan

Sorak sorai bersautan
Kegembiraan terpancar pada wajah nan binar
Malam menghunjam dalam kegelapan
Tiba-tiba irama gendhing megatruh menyayat hati sarat kepiluan
Ketika korban wadyabala perang berjatuhan dimana-mana
Lalu sepi hanya terdengar suluk  kumandhang jagat gara-gara

Cerita paripurna
Wayang-wayang dimasukkan kotak oleh sang dalang
Dikunci  setelah pagelaran usai
Penonton pulang membawa cerita kehidupan
Sampai suatu waktu menghadap sang Maha Dalang.


                                                                                                            Bojonegoro, 2009







AYAT-AYAT TUHAN

Hasrat serakah abai pranata bak jaman jahiliyah
Kebobrokan meluas dosa kemaksiyatan menggunung
Aji mumpung adigang adigung adiguna dalam tegak perkasa
Salahkah jikalau amuk gemuruh magma lahar panas meluluhlantakkan perkampungan
Memporakporandakan rencana manusia yang menjadi linglung tiada daya

Lantang jalang kesombongan
Tambang-tambang lembah ngarai hutan gundul eksploitasi
Salahkan manakala banjir bandang kencang menerjang
Mengubur nyawa melumat harapan

Kukuh angkuh manusia anak jaman
Menebar polusi pekat cerobong jelaga menutup kota
Mengalir deras menghitam muara samudera
Rakus melahap isi laut dan bumi
Salahkah jikalau gulung gemulung ombak tsunami
Menghempas menenggelamkan harta dan nyawa

Inilah Ayat-Ayat Tuhan nan tersirat
Ketika sujud persembahan kita sebatas ritual
Bukan totalitas penghambaan


                                                                                    Bojonegoro akhir oktober 2010



Nono Warnono:
MUSANG BULU DOMBA
dan heroisme mereka pancang laksa  papan nama  komoditi penjaja nama rakyat tersayat
Program pepesan kosong  pemberdayaan masyarakat tidak lebih panggung sandiwara pengkhianat
Suara lantang ditengah nafas-nafas tersengal kemiskinan diskriminasi jadi tumbal proposal, jelata terpedaya tangis terampas jerit tergadai kepapaan diperjual belikan
Diantara mereka orang-orang terpelajar intelektual penjual idealisme dengan legalisasi program-program pencurian atas nama penderitaan rakyat

cara berjalan bicara uniform sepatu celana baju dasi emblem songkok dan kedipan mata gambar pemimpin cerdas, pejabat pekerti luhur ataupun penggedhe sarat obsesi dengan selaksa kepalsuan janji membelanjakan mimpi atas potensi dengan prioritas program strategi
Apa lacur dikata, ambisi jabatan aneka posisi wujud gratifikasi balas budi kroni
Penggemukan kambing dan sapi kerajinan rumah tangga adalah jajahan memperkaya anak istri
Kantong-kantong ekonomi  jadi gebyar kartel pemegahan company meraksasakan postur eksistensi diri karena jiwa, hati dan perasaan serta kecerdasan otaknya adalah perompak dengan bungkus filosofi, hadis nabi dan kitab suci

orasi  meledak-ledak tangis dan air matanya adalah politisasi  jeritan akar rumput
improvisasi drama hati pencoleng kamuflase sempurna ketika temukan momentum
strategi tugas legislasi ujungnya adalah prakondisi pembuka jalan perampok dan pencuri
gedung-gedung tinggi dibangun untuk bersembunyi melampiaskan syahwat korupsi
meja kursi diskusi sering sebagai tempat mengantuk berkolusi saksikan gambar bugil nan seksi
mereka mengaku orang-orang terhormat hanya karena berdasi dah hafal sepenggal ayat dalam kitab suci yang substansinya diinjak-injak setiap hari

dibalik topeng-topeng penutup muka orang-orang itu tak henti bercerita kemana-mana
“lihatlah wajahku penuh bianglala”
Di atas panggung sandiwara politisi itu terus berorasi meludahkan janji-janji mulut bau bangkai
“dengarkan suaraku harmoni mendayu merdu”
Orang-orang itu terus berteriak
“kenapa kau menolak mengakui eksistensi  dan komitmen kami-kami orang mulia”
Sampai suatu saat rakyat membuang muka karena sejatinya mereka tidak lebih segerombolan musang berbulu domba

                                                                                                            Babat, 2011

Nono Warnono:
TANGIS RAMADHAN

Samar penghambaan kontemplasi atau ritual ceremonial binal
Kering kerongkong kosong perut tangis sujud kemunafikan
Berbuka melacurkan amanah peran jabatan sepiring pembusukan etika
Saur sari-sari korupsi diskusi jamaah di meja kolusi rajut mafia
Do’a dzikir penghindar blenggu aturan pranata ternistakan

Jama’ah tarawih tumpah ruah sebanyak gerombolan penyamun perampok uang dan potensi bangsa
Ruku’ sujud baris lurus lalu berurai tengkar berbantah-bantah saling tuding tunjuk muka argumentasi baur alibi tabur kebohongan ranjau fitnah membuncah menerjang kemana-mana
Geram kesumat berteriak mengacung-acungkan tangan merasa paling benar sendiri
Berlari telanjang sambil menyanyi tentang aurat sendiri

Corong tadarus masjid surau memekakkan telinga agungkan kitab suci esok diinjak-injak nista
Halal haram mulut busa bisa tangan-tangan kotor menjamah ranah tuhan
Karena kebijakan sesat pembesar menumbuhsuburkan kebatilan menjunjung nurani julig

Igauan tausiyah mauidhoh hasanah adalah nyanyian ritual gendang sepenabuhan
Di tengah aroma wisky ironi syahwat bidadarai berselendang nafsu birahi
Jaman apakah ini aki?

                                                                                                Gajah Indah, gustus 2011














Nono Warnono:

REINKARNASI ULAT

Fenomena ulat kegelisahan mewabah terjangkit di semua jengkal tanah bernanah dosa
Orang-orang gamang pohon kesombongan meranggas tanaman ludes rumah-rumah diserang
Anak-anak ketakutan tanah lapang jadi sararan semakin liar jalang
Jalan-jalan dikepung teror ketakutan rasa gatal hembusan angin
ulat-ulat penyeimbang ekosistem terus dihujat dan difitnah

Semua orang merasa gatal ketika ulat-ulat merambah kantor-kantor pejabat
Meja hijau sarat ulat
Meja-kursi politisi menjadi endemic
Gedung-gedung dewan semakin menakutkan rasa kebinatangan semakin ganas
orang lalu mengamuk membasmi dengan aneka obat hama tanaman
ulat bertambah merajalela diantara orang-orang kehilangan iman

di depan cermin orang-orang berteriak ketakutan karena wajahnya penuh ulat
kaca cermin dipukul sekuat tenaga pecah berserakan
terus mengamuk cermin tak berdosa tidak tersisa
wajah orang-orang semakin lebam menggaruk dan memukul muka sendiri
mereka sesungguhnya ketakutan pada dirinya sendiri

ulat-ulat
ulat tanah
ulat daun
ulat bulu
ulat uang
ulat jabatan
: ulat reinkarnasi jiwa-jiwa tersesat

                                                                                                                        Baureno, 2011




Negeri Sinetron

Negeri sinetron pemimpin pesolek merias citra pemain watak melakonkan bermacam karakter menyempurnakan sembunyi cela. Kamuflase terindah di balik topeng-topeng kedustaan dimainkan penuh improvisasi merajut selaksa tipu daya nan mempesona. Bak senyum rembulan menebar goda saat malam menghunjam atas ketidakberdayaan dan kegagalan menjilat kembali janji yang terludah dan bualan-bualan muak membungkus seribu bau bangkai kebohongan.

Negeri sinetron politisi berorasi bak pendekar gagah perkasapahlawan kesiangan mengacung-acungkan tangan mengepal sesumbar atas belenggu kekang. Saat buyar kepungan demonnstran mereka  kianat telikung  rakyat atas rekayasa siasat dalam pukau sandiwara yang dipertontonkan. Ekspresi libido sahwat kekuasaan terbungkus kue-kue koalisibarter kasus saling sandera langkah sebentar berdiskusi berkelahi lalu duduk kembali berhimpun bersama menikmati tumpeng korupsi.Melacurkan idialisme gapai ambisi-ambisi keserakahan.

Negeri sinetron rentenir konglomerat menggadai potensi merajut laksa kolusi polecypermainkan aturan eksploitasi sumber alam kekayaan menenggelamkan harapan rakyat kecil yang terusir dari bumi sendiri. Sungai aliran airmata tatkala sawah-sawah ditanami pabrik-pabrik industri, pasar-pasar tradisional terkubur gedung-gedung pencakar langit, makam-makamleluhur tergusur arena prostitusi, jerit tangis rakyat tertindas tenggelam kegaduhan pemimpin dan preman-preman politisi bertekuk lutut juragan-juragan pemuja  berhala-berhala harta.

Negeri sinetron rakyat menjadi penonton panggung dagelan yang  tidak lucu
Saksikan penguasa pemalas pesolek punggawa penjlat hanya pandai berdebat bersilat lidah sarat bisa merajalela
Mengemas dakwah kemunafikan tausiayah  pencuriberdasi yang dengan gagah melangkah tanpa malu wajah kebinatangan
Hujatan rakyat nan kesumat melihat wakil rakyat tidak lebih segerombolan pengkhianat
Gumam kebencian dengan ekspresi geram: “ Mereka telah memporakporandakan negeri leluhurku melebihi kapal karam terhempas  tsunami”.

                                                                                                Bojonegoro, 2011




Nono Warnono:
Senja Jagad
            Hiruk pikuk hidup kehidupan sandyakala gelap  redup suar lentera  pranata
            Gegap gempita deru manusia pemuja gebyar dunia tergiur kemewahan nisbi
            Peradaban nan rimba  norma etika tereduksi dalam kenistaan dekadensi
            Ibu-ibu menangisi anak perawan mereka menjajakan birahi dalam bangga salah dosa
            Bapak-bapak berlari jatuh tersungkur mengejar anak-anaknya yang liar tak terkendali

            Kumandang adzan sebatas seruan yang tak mampu lunakkan hati-hati batu
            Masjid surau adalah etalase jamaah dzikir doa dalam ritual ceremonial
            Karena setelah keluar berhambur rutinitas kembali normal
            Berhaji dengan korupsi beramal masjid kemenangan judi mengaji menenggak wisky
            Kitab suci dijunjung tinggi kemana-mana isinya diinjak-injak di bawah telapak kaki

            Senja semakin kelam tangis anak-anak tak berdosa lahir tanpa bapak
            Raja –raja tuli buta mengelus perut besarnya abai nestapa rakyat jelata sesak napas
            Anak-anak jaman durhaka mensurgakan ganja narkotika
            Selingkuh menjadi budaya dinamika hidup melaju salah jalan
            Lihatlah mereka sedang mencari kambing hitam ketika tersandung problematika
            Serempak menyalahkan Tuhan

            Kehidupan renta kehilangan harmoni
            Jagat geliat banjir bandang gempa tsunami gunung-gunung melaharkan magma
            Iklim ekstrim puting beliung halilintar memekakkana telinga hujan panas menebar hama
Jutaan penyakit menyerang semua lapisan manusia yang tak henti merasa paling perkasa
            Inilah realita manusia tidak amanah mengemban tugas sebagai kalifah
            Sendyakala langit jingga darah
            Pertikaian antar saudara antar bangsa menghunus senjata memperjual belikan nyawa
Mengedepankan ego busungkan dada kematian menjadi jalan keluar selesaikan perkara
            Peradaban sarat dendam kesumat menebar kebencian jiwa nan tersesat
            Dunia semakin dekat dengan  kiamat

                                                                                                Tengah malam, 2011

 
PUISI-PUISI  KARYA :  NONO WARNONO

Di Masjid Nabawi

terpekur di roudhoh nabi dan sahabat utusan Allah
subhanallah, wibawa nabawi nan agung
suar taman surge semilir angin lembut belai relung kalbu
diri bak debu menista tapak hidup kehidupan
hari-hari teman air mata  haru dalam pengakuan  dosa-dosa
damai  tenteram  tiba-tiba  dating bersemayam dalam dada
sungguh penghambaan nan takkuasa terpuisikan dengan kata-kata

                                                Madinah, 11 Dzulqo’dah 1433 H

Di Masjidil Haram

Ronta jiwa-jiwa hamba bahana
Desak himpit  desah nafas di keagunganka’bah
Towaf  rotasi hati lelah kembara  fatamorgana
Antara hajar aswat makom Ibrahim hijirisma’il rukunyamani
Mustajabah  multazam aroma do’a  mewangi  langit lazuardi
Hayat jiwa-jiwataqwa
Allah akhir kepulangan ikhtiar

                                                            Makah, 02 Dzulhijjah 1433 H








Wukuf di Arafah

Dipadang arafah nan mustajabah
Juta hamba curah dzikirdo’a tawakkal
Khutbah  wukuf  antara tenda-tenda  bisu
Dan hunjam malam khusuk
lembar ihram tersampir
hakekat manusia tidak punya apa-apa
bukan  siapa-siapa atas khalik transenden
kekayaan kesenagan  dunia bukan parameter kemuliaan
karena innaakromakum indzallahiatqookum

                                                Arafah, 09 Dzulhojjah 1433 H

Antara Mina danJamarot

Antara bidayatul muzdalifah dan nihayatul mina
Hilir mudik mabit hamparan pasrah
dantenda-tenda sarat kehunjaman jiwa
gegas langkah hiruk-pikuk menujuJamarot
takbir tahmid bersaut gema
kerikil terlontar tekad usir setan kehidupan
(setan-setan sahwat kekuasaan
setan-setan ekonomi
setan-setan nafsu birahi
setan-setan tehnologi
manusia-manusia setan….)

                                                            Mina, 10 Dzulhijjah 1433


*)Nono Warnono adalah pegiat bahasa dan Sastra jawa pada Sanggar Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro ( PSJB)
Tinggal di Perumahan Gajah Indah Blok O No.18-19
Baureno Bojonegoro
Email : suwarnobbt@gmail.com
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar