Catatan atas Tulisan
Zahidin di Radar Bojonegoro
Mabrurisasi Haji
dan Kesalehan Sosial
Oleh
: SUWARNO*)
Tulisan Sdr. Zahidin
tip dan trik berhaji sepanjang 9 ( sembilan ) episode mendapatkan banyak
apresiasi dari pembaca yang telah maupun yang belum (akan) menunaikan ibadah
haji karena hal tersebut dapat dijadikan panduan bagi calon jama’ah yang tahun ini
akan berangkat ibadah. Trik, tip dan pengalaman empiris dari orang yang pernah menunaikannya penting dijadikan
referensi karena kadang antara teori-praktek manasik haji yang selama ini
didapat oleh calon jama’ah ternyata dalam pelaksanaannya masih banyak kendala
hambatan yang kadang tidak terbayangkan sebelumnya ketika masih di tanah air.
Bagi saya membaca tulisan Sdr Zahidin menjadi menarik
tidak sekedar menyimak tip dan trik persiapan, pelaksanaan dan pasca ibadah
haji, tetapi lebih kepada proses pencerahannya tentang ikhtiar menjadi tamu
Allah, bagaimana memenuhi panggilan Allah (bukan menunggu dipanggil), gagasan
(menghilangkan) tradisi budaya semacam buwuhan, oleh-oleh (gantingan) untuk
tamu, mengemas acara walimatussafar (tasyakuran haji), dan kebiasaan-kebiasaan tetek-bengek
lainnya, serta bagaimana sesungguhnya proses menjadi haji mabrur pasca
perjalanan religi.
Pertama, Upaya memenuhi panggilan Allah, menjadi tamu Allah di tanah suci.Sesuai
bunyi dan makna bacaan talbiyah Labbaikallahumma Labbaik, Labbaika
Laasyarikalaka Labbaik, Innal HamdaWanni’matalaka Walmulk, Laasyarikalak
(Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu.Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milik-Mu,
tiada sekutu bagi-Mu). Dalam hal ini yang kemudian menjadi persoalan adalah
bagaimana cara seseorang memenuhi panggilan Allah sesuai dengan ketentuan
syariat yang telah digariskan oleh Islam. Fenomena akhir-akhir ini memberikan
pesan (massage) kepada kita betapa banyak orang/kalangan yang berangkat haji
dengan motivasi yang kurang/tidak sesuai dengan syarat rukun ibadah sesuai
tuntunan yang disyari’atkan. Tidak sedikit orang yang berangkat haji tidak
semata-mata ibadah mengharap ridha Allah, tetapi lebih kepada dorongan
menaikkan gengsi (prestise) agar diakui status sosialnya di tengah lingkungan
masyarakat tempat tinggal atau komunitas dan tempat kerjanya, ada juga berangkat
haji dibiayai oleh institusi atau korporasi sebagai hadiah (gratifikasi) agar
yang bersangkutan tidak mengekspose kejahatan yang ada atau membantu mafia yang
dijalankannya, fenomena kontradiktifmemenuhi
panggilan haji dengan hasil korupsi untuk mengkamuflase/topeng tindak
kejahatannya, ada yang berangkat haji
dengan ngoyo (nekat) meski sesungguhnya dilihat dari sudut pandang
istitho’ah (kemampuan)belum kuasa melaksanakannya, dan masih banyak lagi niat
sesat orang memenuhi panggilan Allah.
Kedua, Mereduksi dan menghapus tradisi budaya yang menyertai ibadah haji (
sepertibuwuhan, oleh-oleh /gantingan untuk tamu, walimatussafar /tasyakuran
berangkat haji,arak-arakan upacara pemberangkatan, kebiasaan-kebiasaan tetek-bengekdan
semacamnya yang memberatkan. Akulturasi budaya ke dalam islam di Indonesia dan
jawa khususnya sudah terjadi sangat lama dan dimaknai sebagai nilai luhur dan
warisan yang terus dileluri (dilestarikan). Lihat saja bagaimana para
wali menyebarluaskan agama islam ( wayang dan gamelan dijadikan media dak’wah,
sedekah bumi dengan nyadran, tasyakuran hasil panen dengan tradisi wiwit
(menaruh takir nasi lauk-pauk di pojok sawah) dan masih banyak tradisi ritual
lainnya yang semuanya bermuara kepada komunikasi transenden kepada pencipta
(hablum minallah) dan hubungan horizontal terhadap sesama (hablum minannaas) .
Kultur budaya, adat tradisi yang sudah menyatu dengan pengamalan agama termasuk tradisi-tradisi yang menyertai prosesi
ibadah haji rasanya sulit untuk tiba-tiba dihilangkan begitu saja karena
keduanya memiliki persamaan nilai yang terus dilestarikan oleh para penganutnya.
Tradisi bertamu, buwuhan unjung-unjung adalah upaya nepung sanak
(silaturakhim) memberi do’a kepada calon jamaah yang semuanya juga dianjurkan
oleh islam. Simak sebuah hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah , Mankaana
yukminu Billaahi Walyaumil Aakhiiri Falyukrim Dhoifah, waman kaana yukminu
Billaahi Walyaumil Aakhiiri falyasil rokhimah ( Barang siapa percaya kepada
Allah dan hari Akhir hendaklah berbuat baik kepada tamunya, dan barang siapa
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah menyambung silaturrakhim).
Dalam perspektif ekonomi membeli dan menyuguhkan
hidangan serta memberikan oleh-oleh/gantingan kepada tamu yang kunjung sepulang
haji secara tidak sadar para calon
jamaah haji telah turut serta menggerakkan pemberdayaan ekonomi. Berapa banyak
home industri yang ikut terdongkrak omzetnya ketika musim haji tiba, semacam
pembuatan produk songkok, tasbih,
kerudung, sajadah, mukena. Berapa banyak para pedagang kaki lima yang ikut
merasakan limpahan rezeki dari penjualan kurma, air zamzam, jajan
kacang-kacangan dan souvenir sejenisnya.
Ketiga, proses menggapai ibadah haji yang mabrur
dengan dampak kesalehan sosial. Gelar haji adalah budaya, dan gelar haji merupakan bagian legitimasi formal
tingkat spiritualitas seseorang, artinya gelar tersebut hanya berhak disandang
oleh mereka yang telah menunaikan rukun islam kelima tersebut. Namun apakah
legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial. Karena kita
kadang lebih senang level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual tetapi
menyepelekan kesalehan soaial. Keyakinan semakin sering berhaji, semakin sempurna
dan hebatlah keislamannya adalah anggapan yang harus diluruskan.Karena misi
Rasulullah datang ke muka bumi untuk membangun peradaban dengan pilar utama
keilmuan, ketaqwaaan dan integritas akhlakul karimah. Mari kita ambil makna
kisah sufi berikut ini: Tersebutlah dalam suatu kisah bahwa seseorang yang
menunaikan ibadah haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari
di padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulallah SAW.Perasaan berjumpa dengan Rasulullah memberikan
harapan dalam dirinya bahwa hajinya
telah menjadi haji yang mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri
bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah diantara mereka yang hajinya diterima
sebagai haji yang mabrur wahai Rasulullah?.” Rasulullah SAW seraya menarik
napas dalam-dalam kemudian menjawab: ”Tak seorangpun dari mereka yang diterima
hajinya kecuali seorang tukang cukur tetanggamu.” Serta merta sang haji kagum
dan terperanjat kaget. Betapa tidak, karena ia tahu persis bahwa tetangganya
itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini tetangganya itu
tidak sedang menunaikan ibadah haji. Dengan digeluti perasaan sedih dengan dada
terasa sesak ia terbangun dari tidurnya. Sekembali dari Mekkah, ia segera
menemui tetangganya yakni si tukang cukur. Ia menceritakan segala pengalamannya
selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah
perihal si tukang cukur itu sendiri. Kemudian ia bertanya: “Amalan apakah yang
anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan ibadah haji yang
mabrur?” Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita, bahwa
sebenarnya ia telah lama bercita-cita agar dapat menunaikan ibadah haji dan
telah bertahun-tahun mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya itu telah cukup dan
telah tiba pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya
ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur
menyumbangkan hampir seluruh biaya yang bertahun-tahun ia kumpulkan itu untuk
membiayai anak yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji.
Dari kisah tersebut
kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj”
di depan nama seseorang, tetapi lebih kepada aktualisasi nilai-nilai simbolik
ibadah haji berupa kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam interaksi kehidupan
sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas
amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan dan sifat-sifat
kemanusiannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.Jadi makna haji mabrur
adalah nilai yang diterima di sisi Allah dan mampu memberikan implikasi sosial
terhadap pelakunya karena apa yang dilakukan bukan sekedar ritual personal,
melainkan lebih kepada dimensi kesalehan sosial.
Semoga haji kita dapat merubah
moralitas kita menuju tingkatan yang lebih ilahiyah sifatnya tanpa mengurangi
rasa kepedulian terhadap “mas’uliyah ijtima’iyah” (tanggungjawab social) kita
terhadap sesama.
*) Penulisadalahpegiat budaya di PSJBdan Pegiat Religi di KBIH “Al-Amanah” Bojonegoro.
Catatan
Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 2012
Menakar Kualitas
Pelayanan Ibadah Haji
Oleh
: H. SUWARNO*)
Sebagai makhluk berketuhanan (homo religious)
manusia senantiasa berupaya membangun komunikasi secara intensif dengan penciptanya.
Upaya mendekatkan diri dilakukan dengan berbagai bentuk ritual ibadah sesuai
dengan pranata agama yang telah mengatur semuanya. Dan aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah
hajimerupakan manifestasi penghambaan makhluk dalam hal
ini umat islam untuk mengharap ridha Allah dan pengampunan atas pengukuan
dosa-dosanya. Problemnya adalah animo menunaikan ibadah haji yang begitu tinggi
belum sebanding dengan kuota yang tersedia sehingga tak ayal daftar antrean
(waiting list) yang begutu panjang
menjadi permasalahan yang berpotensi meninmbulkan dampak negatif yang
menyertainya. Seperti dana talangan untuk memperoleh porsi yang kemudian
mengacaukan pengaturan kuota karena banyak diantaranya yang tidak kuasa
melunasi saat batas akhir telah berlalu, adanya kasak-kusuk calon jamaah dengan
petugas untuk mendapatkan fasilitas mempercepat keberangkatan, transparansi pengaturan
kuota yang kurang terbuka sampai dengan rendahnya mutu pelayanan oleh petugas
terkait mulai pra pelaksanaan sampai dengan pasca penyelenggaraaan ibadah haji
tersebut. Seperti proses cek kesehatan, pengurusan paspor visa, transportasi, perlindungan
keamanan, catering dan semacamnya.
Terkait beberapa pengaduan yang mensinyalir kinerja
petugas yang yang tidak sesuai dengan standart pelayanan semisal keluar
bertugas tidak berseragam, petugas lebih mementingkan ibadah pribadinya
daripada melayani, rendahnya kwalitas dan kompetensi petuagas dan sebagainya
menandai kualitas pelayanan terhadap jamaah masih belum optimal meski hal
tersebut dibantah sekjen kemenag Bahrul Hayat ( Jawa Pos, 15/10/2012).
Jamaah haji Bojonegoro tahun 2012 sejumlah 1.031
orang yang yang tergabung dalam tiga kelompok terbang (kloter) diberangkatkan
lewat embarkasi Surabaya sejatinya juga tidak luput dari berbagai permasalahan
seperti standart pelayanan yang kurang/tidak sesuai dengan standart operasional
prosedur (SOP), rendahnya kualitas dan
kompetensi petugas sampai dengan minimnya pemahaman calon jamaah terhadap
berbagai aturan dan materi ibadah meskipun sudah banyak yang bergabung dengan
kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Maka tidak aneh kalau selama pelaksanaan
ibadah haji acapkali kita dengar banyak jamaah yang meninggal karena kurang
diperhatikannya kesehatan, memalsukan ratusan akta nikah, koper tertahan karena
membawa air zam-zam, jamaah haji mencuri uang, beribadah dengan tujuan menjadi
TKI serta motivasi dan tendensi lain
yang tidak senafas dengan esensi ibadah haji. Parahnya aneka kekurangan
tersebut selama ini tidak pernah muncul ke permukaan karena calon jamaan kena
bius kata “sabar”.Calon haji harus bersabar, tidak boleh protes, tidak boleh
mengeluh, dan tidak boleh-tidak boleh lainnya, padahal bersabar seyogyanya
tidak dimaknai secara gebyah uyah (disama ratakan) tanpa memperhatikan
konteksnya.
Menurut hemat penulis, yang tahun ini ikut menjadi
jamaah di kloter satu Bojonegoro, ada beberapa catatan selama pelaksanaan
ibadah haji yang penting dicermati, menjadi bahan perenungan bersama dan
kemudian muncul langkah strategis yang solutif untuk mereduksi bahkan dapat menghilangkan
hal-hal yang kontra produktif.
Pertama, Pelayanan pengamanan selama keberangkatan dan pasca pemulangan yang
tidak maksimal.Memang dari pemaparan pihak kepolisian dan pihak-pihak terkait
sudah disusun prosedur, standardan berbagai aturan yang menyertainya.Tetapi
dirasakan jamaah semua aturan tersebut baru pada tatarannormatifdan di atas
kertas sedangkan implementasi di lapangan tidak pernah menjadi kenyataan.Pengamanan
yang dikerahkan oleh satlantas polres dengan kekuatan 225 anggotamenerapkan
aturan baru agar lebih lancar(radar bojonegoro, 21/9/2012). Konon katanya
aturan baru itu dapat mengurai dan mengurangi kemacetan signifikan yakni
mereduksi kemacetan separo dari tahun sebelumnya. Aturan itu mensyaratkan jamaah
yang berangkat sekeluarga( dua atau lebih jamaah) hanya boleh diantar satu
mobil dengan memperoleh satu tanda parkir kendaraan,tidak boleh mengerahkan
pengantar menggunakan mobil dengan bak terbuka, mengubah aturan lama satu
jamaah boleh diantar satu mobil. Kenyataannya aturan tersebut hanya isapan
jempol belaka karena aturan tersebut malah menyusahkan jamaah karena yang ada
adalah arak-arakan pengantar dengan truk terbuka tidak pernah ditertibkan
petugas.Ditempat-tempat rawan macet sampai pendopo tempat berhimpunnya calon
jamaah haji tidak ada petugas yang mengatur sehingga mobil jamaah sering
terjepit kemacetan dan akhirnya terlambat mencapai tujuan. Ironisnya mobil jamaah
dihentikan petugas di selatan alun-alun dipaksa berjalan kaki, sedangkan mobil
dan penggembira/pengantar bebas berjubel di akses jalan depan pendopo.
Menyedihkan,jemaah harus susah payah menerobos kerumunan masa dengan mengangkut
tas sendiri tanpa ada petugas yang ngopeni. Seharusnya sejak masuk kota
petugas sudah mengawal peserta yang ada dengan tanda parkir khusus, dan
mengarahkan kendaraan yang tidak berkepentingan atau hanya pengantar untuk
mengambil akses jalan lain.
Kedua, beberapa petugas yang selama ini menyertai jamaah terlalu banyak karena
ada beberapa yang tugasnya sudah diambil oleh kelompok bimbingan haji. Misalnya
petugas pembimbing ibadah haji yang hampir
tidaknampak perannya karena sebelum berangkat para calon jamaah sudah
dibekali dengan mantap oleh kelompok bimbingan, sehingga petugas tersebut hanya
sibuk melakukan ibadah sendiri padahal anggaran yang diserap dari uang jamaah
dan uang negara tidak sedikit jumlahnya. Ke depan kementerian agama lebih baik memberdayakan kelompok-kelompok bimbingan ibadah
haji yang sudah ada dan rata-rata sudah memeliki jaringan dan sumberdaya
manusia (human resources) yang memadai.
Ketiga, Pegiat religi yang tergabung di kelompok bimbingan ibadah
haji (KBIH) masih berorientasi profit finansial dan mengedepankan jumlah
(kuantitas) daripada mutu (kualitas) serta munculnya kompetisi yang tidak sehat
antar KBIH. Sudah menjadi rahasia umum kebanyakan KBIH selama ini lebih
berlomba mencari calon jamaah sebanyak-banyaknya dengan segalacara, diharapkan
dengan banyaknya calon jamaah yang digaet pundi-pundi keuangan semakin besar
jumlahnya. Memang beberapa materi bimbingan yang seharusnya menjadi kewajiban
petugas dari depag sudah diambil alih oleh kelompok bimbingan tersebut, tetapi
karena tumbuhnya kompetisi yang kurang sehat antar kelompok bimbingan
memunculkan juga perseteruan yang tidak sehat antar calon jamaah yang berbeda
asal KBIH. Maka jangan heran jika kita sering melihat dan mendengar saling
ejek, saling melecehkan antar calon jamaah karena membela membabi buta
kelompoknya masing-masing, bukannya saling bekerjasama dan bersinergi. Ke depan
KBIH harus menjadi pencerah dalam membimbing, bukannya menjadi “provokator”
bagi anggotanya .Kompetisi yang sehat dan selaras dengan aturan agama menjadi
sebuah keniscayaan.
Keempat, prosedur pelayanan kesehatan dengan aturan
membingungkan dan kualitas SDM petugas yang masih di bawah standar. Sebagai
illustrasi, ketika mengurus persyaratan untuk kepentingan haji, penulis yang
notabene calon jamaah, mendapat penjelasan prosedur dari dokter puskesmas yang
pada akhirnya bertentangan dengan aturan di bagian rekam medic, berbeda lagi di
bagian poli, terombang ambing ke bagian askes, dan terus berputar-putar dari
bagian satu ke bagian lain seperti dipingpong. Jelas sekali masing-masing pihak
tidak memahami standar pelayanan kesehatan yang dipersyaratkan kepada seseorang
yang akan menunaikan ibadah haji. Koordinasi yang kacau dan sosialisasi yang
apa adanya, ujung-ujungnya menyusahkan calon tamu Allah yang sering harus “bersabar”.
Yang lebih konyol lagi, ketika calon jamaah berada di hotel Madinah, ada calon
jamaah kloter satu Bojonegoro yang “protes” karena air macet, kudapan roti
busuk dan menu makanan kurang bergizi, ada seorang dokter yang menjawab dengan ketus “Sudahlah dimakan saja dan
dienak-enakkan biar di Mekah dan seterusnya terasa enak”. Sebuah pembodohan
dengan senjata “bersabar” dari seorang dokter yang seharusnya memberikan
pencerahan tentang pentingnya kesehatan dan pentingnya akuntabilitas peruntukan
anggaran yang diambil dari uang jamaah dan uang Negara.Sungguh pemandangan yang
sangat menyedihkan dan ironis.
Dari berbagai
permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut menjadi
keprihatinan kita bersama dan sebagai evaluasi para pengampu kepentingan
(stakeholder) dan pada akhirnya dijadikan
pertimbangan untuk memberikan pelayanan yang lebih berkualitas.
Mengkebiri hak standar pelayanan perlindungan keamanan, bimbingan manasik, dan
layanan kesehatan dari petugas yang kompeten dan berdedikasi adalah tindakan
aniaya (dholim).Tidak elok membungkam calon jamaah dengan justifiksi amunisi
“bersabar” yang sering salah kaprah penggunaannya.
Tulisan ini bukan
berpretensi mendiskreditkan pihak tertentu tetapi sebagai pembelajaran dan
evaluasi bersama agar ke depan standar pelayanan maksimal mampu mengantarkan
calon jamaah menjadi haji yang mabrur. Apresiasi juga patut kita sematkan
kepada berbagai pihak dan petugas yang sudah bersusah payah melayani calon jamaah secara
maksimal .
*) H. Suwarno,S.Pd.MM adalah Jama’ah Haji Tahun 2012 dan Pegiat Religi di KBIH
“Al-Amanah” Bojonegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar