Senin, 11 Maret 2013

Artikel Religius


Catatan atas Tulisan Zahidin di Radar Bojonegoro

Mabrurisasi Haji dan Kesalehan Sosial


Oleh : SUWARNO*)
Tulisan Sdr. Zahidin  tip dan trik berhaji sepanjang 9 ( sembilan ) episode mendapatkan banyak apresiasi dari pembaca yang telah maupun yang belum (akan) menunaikan ibadah haji karena hal tersebut dapat dijadikan panduan bagi calon jama’ah yang tahun ini akan berangkat ibadah. Trik, tip dan pengalaman empiris  dari orang yang pernah menunaikannya penting dijadikan referensi karena kadang antara teori-praktek manasik haji yang selama ini didapat oleh calon jama’ah ternyata dalam pelaksanaannya masih banyak kendala hambatan yang kadang tidak terbayangkan sebelumnya ketika masih di tanah air.
Bagi saya membaca tulisan Sdr Zahidin menjadi menarik tidak sekedar menyimak tip dan trik persiapan, pelaksanaan dan pasca ibadah haji, tetapi lebih kepada proses pencerahannya tentang ikhtiar menjadi tamu Allah, bagaimana memenuhi panggilan Allah (bukan menunggu dipanggil), gagasan (menghilangkan) tradisi budaya semacam buwuhan, oleh-oleh (gantingan) untuk tamu, mengemas acara walimatussafar (tasyakuran haji), dan kebiasaan-kebiasaan tetek-bengek lainnya, serta bagaimana sesungguhnya proses menjadi haji mabrur pasca perjalanan religi.
Pertama, Upaya memenuhi panggilan Allah, menjadi tamu Allah di tanah suci.Sesuai bunyi dan makna bacaan talbiyah Labbaikallahumma Labbaik, Labbaika Laasyarikalaka Labbaik, Innal HamdaWanni’matalaka Walmulk, Laasyarikalak (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu). Dalam hal ini yang kemudian menjadi persoalan adalah bagaimana cara seseorang memenuhi panggilan Allah sesuai dengan ketentuan syariat yang telah digariskan oleh Islam. Fenomena akhir-akhir ini memberikan pesan (massage) kepada kita betapa banyak orang/kalangan yang berangkat haji dengan motivasi yang kurang/tidak sesuai dengan syarat rukun ibadah sesuai tuntunan yang disyari’atkan. Tidak sedikit orang yang berangkat haji tidak semata-mata ibadah mengharap ridha Allah, tetapi lebih kepada dorongan menaikkan gengsi (prestise) agar diakui status sosialnya di tengah lingkungan masyarakat tempat tinggal atau komunitas dan tempat kerjanya, ada juga berangkat haji dibiayai oleh institusi atau korporasi sebagai hadiah (gratifikasi) agar yang bersangkutan tidak mengekspose kejahatan yang ada atau membantu mafia yang dijalankannya,  fenomena kontradiktifmemenuhi panggilan haji dengan hasil korupsi untuk mengkamuflase/topeng tindak kejahatannya,  ada yang berangkat haji dengan ngoyo (nekat) meski sesungguhnya dilihat dari sudut pandang istitho’ah (kemampuan)belum kuasa melaksanakannya, dan masih banyak lagi niat sesat orang memenuhi panggilan Allah.
Kedua, Mereduksi dan menghapus tradisi budaya yang menyertai ibadah haji ( sepertibuwuhan, oleh-oleh /gantingan untuk tamu, walimatussafar /tasyakuran berangkat haji,arak-arakan upacara pemberangkatan, kebiasaan-kebiasaan tetek-bengekdan semacamnya yang memberatkan. Akulturasi budaya ke dalam islam di Indonesia dan jawa khususnya sudah terjadi sangat lama dan dimaknai sebagai nilai luhur dan warisan yang terus dileluri (dilestarikan). Lihat saja bagaimana para wali menyebarluaskan agama islam ( wayang dan gamelan dijadikan media dak’wah, sedekah bumi dengan nyadran, tasyakuran hasil panen dengan tradisi wiwit (menaruh takir nasi lauk-pauk di pojok sawah) dan masih banyak tradisi ritual lainnya yang semuanya bermuara kepada komunikasi transenden kepada pencipta (hablum minallah) dan hubungan horizontal terhadap sesama (hablum minannaas) . Kultur budaya, adat tradisi yang sudah menyatu dengan pengamalan agama  termasuk tradisi-tradisi yang menyertai prosesi ibadah haji rasanya sulit untuk tiba-tiba dihilangkan begitu saja karena keduanya memiliki persamaan nilai yang terus dilestarikan oleh para penganutnya. Tradisi bertamu, buwuhan unjung-unjung adalah upaya nepung sanak (silaturakhim) memberi do’a kepada calon jamaah yang semuanya juga dianjurkan oleh islam. Simak sebuah hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah , Mankaana yukminu Billaahi Walyaumil Aakhiiri Falyukrim Dhoifah, waman kaana yukminu Billaahi Walyaumil Aakhiiri falyasil rokhimah ( Barang siapa percaya kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berbuat baik kepada tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah menyambung silaturrakhim).
Dalam perspektif ekonomi membeli dan menyuguhkan hidangan serta memberikan oleh-oleh/gantingan kepada tamu yang kunjung sepulang haji  secara tidak sadar para calon jamaah haji telah turut serta menggerakkan pemberdayaan ekonomi. Berapa banyak home industri yang ikut terdongkrak omzetnya ketika musim haji tiba, semacam pembuatan  produk songkok, tasbih, kerudung, sajadah, mukena. Berapa banyak para pedagang kaki lima yang ikut merasakan limpahan rezeki dari penjualan kurma, air zamzam, jajan kacang-kacangan dan souvenir sejenisnya.
Ketiga, proses menggapai ibadah haji yang mabrur dengan dampak kesalehan sosial. Gelar haji adalah budaya, dan gelar haji merupakan bagian legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang, artinya gelar tersebut hanya berhak disandang oleh mereka yang telah menunaikan rukun islam kelima tersebut. Namun apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial. Karena kita kadang lebih senang level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual tetapi menyepelekan kesalehan soaial. Keyakinan semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya adalah anggapan yang harus diluruskan.Karena misi Rasulullah datang ke muka bumi untuk membangun peradaban dengan pilar utama keilmuan, ketaqwaaan dan integritas akhlakul karimah. Mari kita ambil makna kisah sufi berikut ini: Tersebutlah dalam suatu kisah bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulallah SAW.Perasaan berjumpa dengan Rasulullah memberikan harapan  dalam dirinya bahwa hajinya telah menjadi haji yang mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah diantara mereka yang hajinya diterima sebagai haji yang mabrur wahai Rasulullah?.” Rasulullah SAW seraya menarik napas dalam-dalam kemudian menjawab: ”Tak seorangpun dari mereka yang diterima hajinya kecuali seorang tukang cukur tetanggamu.” Serta merta sang haji kagum dan terperanjat kaget. Betapa tidak, karena ia tahu persis bahwa tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini tetangganya itu tidak sedang menunaikan ibadah haji. Dengan digeluti perasaan sedih dengan dada terasa sesak ia terbangun dari tidurnya. Sekembali dari Mekkah, ia segera menemui tetangganya yakni si tukang cukur. Ia menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah perihal si tukang cukur itu sendiri. Kemudian ia bertanya: “Amalan apakah yang anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan ibadah haji yang mabrur?” Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita, bahwa sebenarnya ia telah lama bercita-cita agar dapat menunaikan ibadah haji dan telah bertahun-tahun mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya itu telah cukup dan telah tiba pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur menyumbangkan hampir seluruh biaya yang bertahun-tahun ia kumpulkan itu untuk membiayai anak yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji.
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna substantif ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di depan nama seseorang, tetapi lebih kepada aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah haji berupa kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji tercermin pada kemampuan meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan dan sifat-sifat kemanusiannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah.Jadi makna haji mabrur adalah nilai yang diterima di sisi Allah dan mampu memberikan implikasi sosial terhadap pelakunya karena apa yang dilakukan bukan sekedar ritual personal, melainkan lebih kepada dimensi kesalehan sosial.
Semoga haji kita dapat merubah moralitas kita menuju tingkatan yang lebih ilahiyah sifatnya tanpa mengurangi rasa kepedulian terhadap “mas’uliyah ijtima’iyah” (tanggungjawab social) kita terhadap sesama.

*) Penulisadalahpegiat budaya di PSJBdan Pegiat Religi di KBIH “Al-Amanah” Bojonegoro.


Catatan Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 2012

Menakar Kualitas Pelayanan Ibadah Haji


Oleh : H. SUWARNO*)
Sebagai makhluk berketuhanan (homo religious) manusia senantiasa berupaya membangun  komunikasi secara intensif dengan penciptanya. Upaya mendekatkan diri dilakukan dengan berbagai bentuk ritual ibadah sesuai dengan pranata agama yang telah mengatur semuanya. Dan aktualisasi nilai-nilai simbolik ibadah hajimerupakan manifestasi penghambaan makhluk dalam hal ini umat islam untuk mengharap ridha Allah dan pengampunan atas pengukuan dosa-dosanya. Problemnya adalah animo menunaikan ibadah haji yang begitu tinggi belum sebanding dengan kuota yang tersedia sehingga tak ayal daftar antrean (waiting list) yang begutu panjang  menjadi permasalahan yang berpotensi meninmbulkan dampak negatif yang menyertainya. Seperti dana talangan untuk memperoleh porsi yang kemudian mengacaukan pengaturan kuota karena banyak diantaranya yang tidak kuasa melunasi saat batas akhir telah berlalu, adanya kasak-kusuk calon jamaah dengan petugas untuk mendapatkan fasilitas mempercepat keberangkatan, transparansi pengaturan kuota yang kurang terbuka sampai dengan rendahnya mutu pelayanan oleh petugas terkait mulai pra pelaksanaan sampai dengan pasca penyelenggaraaan ibadah haji tersebut. Seperti proses cek kesehatan, pengurusan paspor visa, transportasi, perlindungan keamanan, catering dan semacamnya.
Terkait beberapa pengaduan yang mensinyalir kinerja petugas yang yang tidak sesuai dengan standart pelayanan semisal keluar bertugas tidak berseragam, petugas lebih mementingkan ibadah pribadinya daripada melayani, rendahnya kwalitas dan kompetensi petuagas dan sebagainya menandai kualitas pelayanan terhadap jamaah masih belum optimal meski hal tersebut dibantah sekjen kemenag Bahrul Hayat ( Jawa Pos, 15/10/2012).
Jamaah haji Bojonegoro tahun 2012 sejumlah 1.031 orang yang yang tergabung dalam tiga kelompok terbang (kloter) diberangkatkan lewat embarkasi Surabaya sejatinya juga tidak luput dari berbagai permasalahan seperti standart pelayanan yang kurang/tidak sesuai dengan standart operasional prosedur (SOP),  rendahnya kualitas dan kompetensi petugas sampai dengan minimnya pemahaman calon jamaah terhadap berbagai aturan dan materi ibadah meskipun sudah banyak yang bergabung dengan kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Maka tidak aneh kalau selama pelaksanaan ibadah haji acapkali kita dengar banyak jamaah yang meninggal karena kurang diperhatikannya kesehatan, memalsukan ratusan akta nikah, koper tertahan karena membawa air zam-zam, jamaah haji mencuri uang, beribadah dengan tujuan menjadi TKI  serta motivasi dan tendensi lain yang tidak senafas dengan esensi ibadah haji. Parahnya aneka kekurangan tersebut selama ini tidak pernah muncul ke permukaan karena calon jamaan kena bius kata “sabar”.Calon haji harus bersabar, tidak boleh protes, tidak boleh mengeluh, dan tidak boleh-tidak boleh lainnya, padahal bersabar seyogyanya tidak dimaknai secara gebyah uyah (disama ratakan) tanpa memperhatikan konteksnya.
Menurut hemat penulis, yang tahun ini ikut menjadi jamaah di kloter satu Bojonegoro, ada beberapa catatan selama pelaksanaan ibadah haji yang penting dicermati, menjadi bahan perenungan bersama dan kemudian muncul langkah strategis yang solutif untuk mereduksi bahkan dapat menghilangkan hal-hal yang kontra  produktif.
Pertama, Pelayanan pengamanan selama keberangkatan dan pasca pemulangan yang tidak maksimal.Memang dari pemaparan pihak kepolisian dan pihak-pihak terkait sudah disusun prosedur, standardan berbagai aturan yang menyertainya.Tetapi dirasakan jamaah semua aturan tersebut baru pada tatarannormatifdan di atas kertas sedangkan implementasi di lapangan tidak pernah menjadi kenyataan.Pengamanan yang dikerahkan oleh satlantas polres dengan kekuatan 225 anggotamenerapkan aturan baru agar lebih lancar(radar bojonegoro, 21/9/2012). Konon katanya aturan baru itu dapat mengurai dan mengurangi kemacetan signifikan yakni mereduksi kemacetan separo dari tahun sebelumnya. Aturan itu mensyaratkan jamaah yang berangkat sekeluarga( dua atau lebih jamaah) hanya boleh diantar satu mobil dengan memperoleh satu tanda parkir kendaraan,tidak boleh mengerahkan pengantar menggunakan mobil dengan bak terbuka, mengubah aturan lama satu jamaah boleh diantar satu mobil. Kenyataannya aturan tersebut hanya isapan jempol belaka karena aturan tersebut malah menyusahkan jamaah karena yang ada adalah arak-arakan pengantar dengan truk terbuka tidak pernah ditertibkan petugas.Ditempat-tempat rawan macet sampai pendopo tempat berhimpunnya calon jamaah haji tidak ada petugas yang mengatur sehingga mobil jamaah sering terjepit kemacetan dan akhirnya terlambat mencapai tujuan. Ironisnya mobil jamaah dihentikan petugas di selatan alun-alun dipaksa berjalan kaki, sedangkan mobil dan penggembira/pengantar bebas berjubel di akses jalan depan pendopo. Menyedihkan,jemaah harus susah payah menerobos kerumunan masa dengan mengangkut tas sendiri tanpa ada petugas yang ngopeni. Seharusnya sejak masuk kota petugas sudah mengawal peserta yang ada dengan tanda parkir khusus, dan mengarahkan kendaraan yang tidak berkepentingan atau hanya pengantar untuk mengambil akses jalan lain.
Kedua, beberapa petugas yang selama ini menyertai jamaah terlalu banyak karena ada beberapa yang tugasnya sudah diambil oleh kelompok bimbingan haji. Misalnya petugas pembimbing ibadah haji yang hampir  tidaknampak perannya karena sebelum berangkat para calon jamaah sudah dibekali dengan mantap oleh kelompok bimbingan, sehingga petugas tersebut hanya sibuk melakukan ibadah sendiri padahal anggaran yang diserap dari uang jamaah dan uang negara tidak sedikit jumlahnya. Ke depan  kementerian agama lebih baik  memberdayakan kelompok-kelompok bimbingan ibadah haji yang sudah ada dan rata-rata sudah memeliki jaringan dan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai.
Ketiga, Pegiat religi yang tergabung di kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) masih berorientasi profit finansial dan mengedepankan jumlah (kuantitas) daripada mutu (kualitas) serta munculnya kompetisi yang tidak sehat antar KBIH. Sudah menjadi rahasia umum kebanyakan KBIH selama ini lebih berlomba mencari calon jamaah sebanyak-banyaknya dengan segalacara, diharapkan dengan banyaknya calon jamaah yang digaet pundi-pundi keuangan semakin besar jumlahnya. Memang beberapa materi bimbingan yang seharusnya menjadi kewajiban petugas dari depag sudah diambil alih oleh kelompok bimbingan tersebut, tetapi karena tumbuhnya kompetisi yang kurang sehat antar kelompok bimbingan memunculkan juga perseteruan yang tidak sehat antar calon jamaah yang berbeda asal KBIH. Maka jangan heran jika kita sering melihat dan mendengar saling ejek, saling melecehkan antar calon jamaah karena membela membabi buta kelompoknya masing-masing, bukannya saling bekerjasama dan bersinergi. Ke depan KBIH harus menjadi pencerah dalam membimbing, bukannya menjadi “provokator” bagi anggotanya .Kompetisi yang sehat dan selaras dengan aturan agama menjadi sebuah keniscayaan.
Keempat,  prosedur pelayanan kesehatan dengan aturan membingungkan dan kualitas SDM petugas yang masih di bawah standar. Sebagai illustrasi, ketika mengurus persyaratan untuk kepentingan haji, penulis yang notabene calon jamaah, mendapat penjelasan prosedur dari dokter puskesmas yang pada akhirnya bertentangan dengan aturan di bagian rekam medic, berbeda lagi di bagian poli, terombang ambing ke bagian askes, dan terus berputar-putar dari bagian satu ke bagian lain seperti dipingpong. Jelas sekali masing-masing pihak tidak memahami standar pelayanan kesehatan yang dipersyaratkan kepada seseorang yang akan menunaikan ibadah haji. Koordinasi yang kacau dan sosialisasi yang apa adanya, ujung-ujungnya menyusahkan calon tamu Allah yang sering harus “bersabar”. Yang lebih konyol lagi, ketika calon jamaah berada di hotel Madinah, ada calon jamaah kloter satu Bojonegoro yang “protes” karena air macet, kudapan roti busuk dan menu makanan kurang bergizi, ada seorang dokter yang menjawab  dengan ketus “Sudahlah dimakan saja dan dienak-enakkan biar di Mekah dan seterusnya terasa enak”. Sebuah pembodohan dengan senjata “bersabar” dari seorang dokter yang seharusnya memberikan pencerahan tentang pentingnya kesehatan dan pentingnya akuntabilitas peruntukan anggaran yang diambil dari uang jamaah dan uang Negara.Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan dan ironis.
Dari berbagai permasalahan yang sering muncul dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut menjadi keprihatinan kita bersama dan sebagai evaluasi para pengampu kepentingan (stakeholder) dan pada akhirnya dijadikan  pertimbangan untuk memberikan pelayanan yang lebih berkualitas. Mengkebiri hak standar pelayanan perlindungan keamanan, bimbingan manasik, dan layanan kesehatan dari petugas yang kompeten dan berdedikasi adalah tindakan aniaya (dholim).Tidak elok membungkam calon jamaah dengan justifiksi amunisi “bersabar” yang sering salah kaprah penggunaannya.
Tulisan ini bukan berpretensi mendiskreditkan pihak tertentu tetapi sebagai pembelajaran dan evaluasi bersama agar ke depan standar pelayanan maksimal mampu mengantarkan calon jamaah menjadi haji yang mabrur. Apresiasi juga patut kita sematkan kepada berbagai pihak dan petugas yang sudah bersusah payah melayani calon jamaah secara  maksimal .

*) H. Suwarno,S.Pd.MM adalah Jama’ah Haji Tahun 2012 dan Pegiat Religi di KBIH “Al-Amanah” Bojonegoro.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar