Senin, 11 Maret 2013

Pramuka


HIDUP HARMONI DI TENGAH BENCANA
Oleh    :   Suwarno *

Minggu-minggu ini Indonesia sedang dirundung duka dan keprihatinan  mendalam. Tragedi bencana alam beruntun menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah. Mulai banjir di Wasior Papua, gempa dan tsunami di kepulauan Mentawai Sumatera Barat (Sumbar) yang menyapu ratusan korban nyawa. Sementara di Yogyakarta erupsi gunung merapi murka dengan melontarkan material vulkanik secara eksplosif berupa semburan lahar panas yang dikenal dengan wedhus gembel meluluhlantakkan perkampungan dan merenggut nyawa  juru kunci Merapi  Mas Panewu Surakso Harjo alias Mbah Marijan di Kinahrejo Cangkringan Kabupaten Sleman.
Bicara Gunung Merapi tak akan lepas dari sosok legendaris bernama Mbah Marijan. Abdi dalem kraton yang berpuluh tahun mendedikasikan sebagaian besar hidupnya untuk keseimbangan tatanan kosmis gunung merapi. Penjaga gunung (Surakso Hargo) yang faham ikhwal etika ekologis. Teguh memegang prinsip dan komitmen. Konsisten memikul tanggungjawab menjaga dan melestarikan potensi alam (resources), tanpa mengharap pangalembana (pujian), tidak butuh pencitraan dari siapapun. Sosok sangat bersahaja ini sering diberitakan (baca: diyakini) memiliki ilmu linuwih, sakti, paranormal atau sebutan-sebutan semacamnya sehingga dianggap mampu “berkomunikasi” dengan “penguasa” gunung Merapi.
Dalam perspektif kekinian sebenarnya apa yang dilakukan Mbah Marijan jauh dari budaya animisme, sekedar “klenik” atau takhayul yang tidak ilmiah, tetapi lebih kepada bagaiman simbah konsisten memegang etika jawa: “Yen kepengin urip aman, sejatine alam menehi rasa ayem tentrem,mula aja kok munasika kareben ora murka”(Jika ingin hidup damai, sebetulnya alam memberi rasa tenteram, jangan kau ganggu biar tidak murka). Saking dekat dan cintanya dengan alam, setiap kali ada mahasiswa pendaki gunung yang meminta ijin kepadanya selalu diwanti-wanti agar tidak merusak sekecil apapun lingkungan Merapi. Dari situ jelas ada komunikasi yang terbangun. Bagaimana menghormati hak hidup alam jika kita tidak ingin diganggu alam. Hidup menurut alam ( secundum naturam vivivere). Tetapi realita yang kita lihat dan rasakan betapa manusia sudah tidak menghormati hak hidup alam. Dengan sengaja secara kolektif pepohonan ditebangi, sungai-sungai dikubur sampah, lembah-lembah jadi pemukiman dan hewan-hewan penjaga ekosistem dibantai dimusnahkan. Karena harmonisasi tidak terbangun  dan keseimbangan ekosistem diabaikan maka jagat makrokosmos bergeliat dan  bencana-bencana  itulah sebagai bentuk “pembalasan”.
Pelajaran yang dapat di petik dari bencana meletusnya gunung Merapi ini adalah betapa pentingnya hidup harmoni, peduli lingkungan, menyatu  dengan alam, sehingga kita bisa memberikan kontribusi perilaku tabiat dalam menjaga keseimbangan. Menjauhi perilaku destruktif dengan mengeksploitasi potensi alam berlebihan maupun memusnahkan ekosistem. Sungguh, menyayangi alam dengan berbagai artikulasi sama dengan menyayangi diri kita sendiri.
 Fenomena ini tentu diharapkan menjadi inspirasi masyarakat di kawasan lain yang rawan bencana seperti  kabupaten Blora, Bojonegoro,Tuban dan Lamongan yang berada di sepanjang bantaran bengawan solo. Bencana banjir menjadi langganan setiap tahun  dan seolah sudah menjadi bagian dari rutinitas kehidupan warganya. Jika akumulasi berbagai bencana ini menjadi bahan perenungan semua pelaku dan pemangku kepentingan,  maka  ke depan pemerintah daerah diharapkan tidak hanya mengambil langkah penanggulangan bencana secara parsial. Tetapi lebih kepada pengambilan langkah-langkah preventif antisipatif secara serius dan menyeluruh.
Pencegahan itu adalah upaya konkrit bagaimana meminimalisir faktor penyebab terjadinya disharmoni kekurangserasian antara alam dan manusia dalam berbagai perlakuan. Sehingga tumbuh  pemahaman ikhwal etika menyeluruh. Keseimbangan ekologi  menjalin komunikasi intens dalam bentuk simbiosis mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan). Selanjutnya, bagaimana mengelola bencana dengan manajemen yang akurat sehingga bencana yang tengah melanda menjadi realita yang dapat diterima sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat di sepanjang bantaran bengawan solo.
Pembangunan infrastruktur di beberapa kabupaten yang dilewati bengawan solo, semisal bendungan gerak, perbaikan dan peninggian tanggul memang sudah direalisasikan. Tetapi upaya itu menjadi kurang bermakna apabila curah hujan dan debet air terlalu besar sehingga meluap liar kemana-mana. Pengadaan infrastruktur tersebut memang penting, namun alangkah bagusnya jika disertai dengan upaya serius memberdayakan sumber daya manusia (Human resources) secara dini dan dengan langkah-langkah sistematis. Baik dalam bentuk pelatihan gladi ketrampilan dan  proses pendidikan secara formal (lembaga sekolah) maupun non formal (institusi terkait  seperti SAR,PMI,Pramuka dll.)
Setahun yang lalu pada suatu kesempatan bupati Bojonegoro mempunyai gagasan matoh, agar dinas pendidikan segera membentuk team penyusun kurikulum tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) beserta substansi materi pembelajaran terkait hidup harmoni di tengah bencana. Dari sana diharapkan ada upaya sistematis secara akademis, peserta didik dapat memperoleh proses pembelajaran kecakapan hidup dan perilaku positif bagaimana hidup di alam terbuka, survive di saat bencana datang tiba-tiba. Yang tepenting lagi dengan terciptanya kondisi tersebut pada akhirnya bencana alam tidak menjadikan beban sosial terlalu berat karena korban jiwa dan harta benda dapat diminimalisir. Terlebih anak dapat menjadi alat yang efektif untunk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana. Sayang follow up gagasan bupati tersebut kurang optimal sehingga belum dapat menjadi alternatif  yang solutif untuk mengatasi bencana banjir.
Dalam bahasa yang sederhana,  hidup harmoni di tengah bencana dapat terwujud ketika masyarakat di kantong wilayah banjir telah memperoleh “bekal” pemberdayaan berupa sosialisasi, motivasi dan kemampuan tehnik dasar mengatasi bencana dan pasca bencana banjir secara kondisional. Dampak dari bencana tidak semakin berat ketika anak-anak melalui kurikulum di sekolah maupun melalui pelatihan di luar sekolah ( PMR,PMI, Pramuka dll) telah memperoleh “pendidikan” bagaimana belajar dan hidup di alam terbuka. Telah tertanam kesadaran hidup dalam kondisi darurat, ada support motivasi sehingga tidak mudah putus asa dan trauma. Di pihak pemerintah jauh-jauh hari telah memiliki perencanaan antisipasi yang serius matang, budget memadai untuk penanggulangan dan sudah barang tentu pembangunan infrastruktur pendukung seperti telah disebutkan di atas.
Namun patut disayangkan bahwa pengelolaan dan penanggulangan bencana banjir disepanjang bengawan solo oleh pemerintah selama ini masih belum komprehensif. Tanggap darurat dikala bencana telah melanda.. Masyarakat di kantong-kantong wilayah banjir dianggap sebagai pihak yang pasif dan tidak berdaya sehingga warga masyarakat yang sebenarnya memiliki potensi yang dapat berperan menjadi solusi problem bencana banjir itu sendidri malah terabaikan. Inilah masalah klasik yang terus berulang dari waktu ke waktu.
Tulisan ini tidak berpretensi mengharap datangnya bencana banjir disepanjang bantaran bengawan solo, tetapi lebih kepada bagaimana realita itu menjadi bahan perenungan dan pengkajian lebih mendalam.


*) Suwarno, pegiat pramuka di Kwarcab Bojonegoro
                 Mail: suwarnobbt@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar