HIDUP HARMONI DI TENGAH BENCANA
Oleh : Suwarno *
Minggu-minggu
ini Indonesia sedang dirundung duka dan keprihatinan mendalam. Tragedi bencana alam beruntun menimpa
saudara-saudara kita di berbagai daerah. Mulai banjir di Wasior Papua, gempa
dan tsunami di kepulauan Mentawai Sumatera Barat (Sumbar) yang menyapu ratusan
korban nyawa. Sementara di Yogyakarta erupsi gunung merapi murka dengan
melontarkan material vulkanik secara eksplosif berupa semburan lahar panas yang
dikenal dengan wedhus gembel meluluhlantakkan perkampungan dan merenggut nyawa juru kunci Merapi Mas Panewu Surakso Harjo alias Mbah Marijan
di Kinahrejo Cangkringan Kabupaten Sleman.
Bicara
Gunung Merapi tak akan lepas dari sosok legendaris bernama Mbah Marijan. Abdi
dalem kraton yang berpuluh tahun mendedikasikan sebagaian besar hidupnya untuk
keseimbangan tatanan kosmis gunung merapi. Penjaga gunung (Surakso Hargo) yang
faham ikhwal etika ekologis. Teguh memegang prinsip dan komitmen. Konsisten memikul
tanggungjawab menjaga dan melestarikan potensi alam (resources), tanpa
mengharap pangalembana (pujian), tidak butuh pencitraan dari siapapun. Sosok
sangat bersahaja ini sering diberitakan (baca: diyakini) memiliki ilmu linuwih,
sakti, paranormal atau sebutan-sebutan semacamnya sehingga dianggap mampu
“berkomunikasi” dengan “penguasa” gunung Merapi.
Dalam
perspektif kekinian sebenarnya apa yang dilakukan Mbah Marijan jauh dari budaya
animisme, sekedar “klenik” atau takhayul yang tidak ilmiah, tetapi lebih kepada
bagaiman simbah konsisten memegang etika jawa: “Yen kepengin urip aman,
sejatine alam menehi rasa ayem tentrem,mula aja kok munasika kareben ora
murka”(Jika ingin hidup damai, sebetulnya alam memberi rasa tenteram, jangan
kau ganggu biar tidak murka). Saking dekat dan cintanya dengan alam, setiap
kali ada mahasiswa pendaki gunung yang meminta ijin kepadanya selalu
diwanti-wanti agar tidak merusak sekecil apapun lingkungan Merapi. Dari situ jelas
ada komunikasi yang terbangun. Bagaimana menghormati hak hidup alam jika kita
tidak ingin diganggu alam. Hidup menurut alam ( secundum naturam vivivere).
Tetapi realita yang kita lihat dan rasakan betapa manusia sudah tidak
menghormati hak hidup alam. Dengan sengaja secara kolektif pepohonan ditebangi,
sungai-sungai dikubur sampah, lembah-lembah jadi pemukiman dan hewan-hewan
penjaga ekosistem dibantai dimusnahkan. Karena harmonisasi tidak terbangun dan keseimbangan ekosistem diabaikan maka
jagat makrokosmos bergeliat dan bencana-bencana itulah sebagai bentuk “pembalasan”.
Pelajaran
yang dapat di petik dari bencana meletusnya gunung Merapi ini adalah betapa
pentingnya hidup harmoni, peduli lingkungan, menyatu dengan alam, sehingga kita bisa memberikan
kontribusi perilaku tabiat dalam menjaga keseimbangan. Menjauhi perilaku destruktif
dengan mengeksploitasi potensi alam berlebihan maupun memusnahkan ekosistem. Sungguh,
menyayangi alam dengan berbagai artikulasi sama dengan menyayangi diri kita
sendiri.
Fenomena ini tentu diharapkan menjadi
inspirasi masyarakat di kawasan lain yang rawan bencana seperti kabupaten Blora, Bojonegoro,Tuban dan Lamongan
yang berada di sepanjang bantaran bengawan solo. Bencana banjir menjadi
langganan setiap tahun dan seolah sudah
menjadi bagian dari rutinitas kehidupan warganya. Jika akumulasi berbagai
bencana ini menjadi bahan perenungan semua pelaku dan pemangku kepentingan, maka ke
depan pemerintah daerah diharapkan tidak hanya mengambil langkah penanggulangan
bencana secara parsial. Tetapi lebih kepada pengambilan langkah-langkah preventif
antisipatif secara serius dan menyeluruh.
Pencegahan
itu adalah upaya konkrit bagaimana meminimalisir faktor penyebab terjadinya disharmoni
kekurangserasian antara alam dan manusia dalam berbagai perlakuan. Sehingga
tumbuh pemahaman ikhwal etika
menyeluruh. Keseimbangan ekologi menjalin
komunikasi intens dalam bentuk simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan). Selanjutnya, bagaimana mengelola bencana dengan manajemen yang
akurat sehingga bencana yang tengah melanda menjadi realita yang dapat diterima
sebagai bagian hidup dan kehidupan masyarakat di sepanjang bantaran bengawan
solo.
Pembangunan
infrastruktur di beberapa kabupaten yang dilewati bengawan solo, semisal
bendungan gerak, perbaikan dan peninggian tanggul memang sudah direalisasikan.
Tetapi upaya itu menjadi kurang bermakna apabila curah hujan dan debet air
terlalu besar sehingga meluap liar kemana-mana. Pengadaan infrastruktur
tersebut memang penting, namun alangkah bagusnya jika disertai dengan upaya
serius memberdayakan sumber daya manusia (Human resources) secara dini dan dengan
langkah-langkah sistematis. Baik dalam bentuk pelatihan gladi ketrampilan
dan proses pendidikan secara formal
(lembaga sekolah) maupun non formal (institusi terkait seperti SAR,PMI,Pramuka dll.)
Setahun
yang lalu pada suatu kesempatan bupati Bojonegoro mempunyai gagasan matoh, agar
dinas pendidikan segera membentuk team penyusun kurikulum tingkat Sekolah Dasar
(SD) sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) beserta substansi materi
pembelajaran terkait hidup harmoni di tengah bencana. Dari sana diharapkan ada
upaya sistematis secara akademis, peserta didik dapat memperoleh proses pembelajaran
kecakapan hidup dan perilaku positif bagaimana hidup di alam terbuka, survive
di saat bencana datang tiba-tiba. Yang tepenting lagi dengan terciptanya kondisi
tersebut pada akhirnya bencana alam tidak menjadikan beban sosial terlalu berat
karena korban jiwa dan harta benda dapat diminimalisir. Terlebih anak dapat
menjadi alat yang efektif untunk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap
bencana. Sayang follow up gagasan bupati tersebut kurang optimal sehingga belum
dapat menjadi alternatif yang solutif
untuk mengatasi bencana banjir.
Dalam
bahasa yang sederhana, hidup harmoni di
tengah bencana dapat terwujud ketika masyarakat di kantong wilayah banjir telah
memperoleh “bekal” pemberdayaan berupa sosialisasi, motivasi dan kemampuan
tehnik dasar mengatasi bencana dan pasca bencana banjir secara kondisional.
Dampak dari bencana tidak semakin berat ketika anak-anak melalui kurikulum di
sekolah maupun melalui pelatihan di luar sekolah ( PMR,PMI, Pramuka dll) telah
memperoleh “pendidikan” bagaimana belajar dan hidup di alam terbuka. Telah
tertanam kesadaran hidup dalam kondisi darurat, ada support motivasi sehingga
tidak mudah putus asa dan trauma. Di pihak pemerintah jauh-jauh hari telah
memiliki perencanaan antisipasi yang serius matang, budget memadai untuk
penanggulangan dan sudah barang tentu pembangunan infrastruktur pendukung seperti
telah disebutkan di atas.
Namun
patut disayangkan bahwa pengelolaan dan penanggulangan bencana banjir
disepanjang bengawan solo oleh pemerintah selama ini masih belum komprehensif. Tanggap
darurat dikala bencana telah melanda.. Masyarakat di kantong-kantong wilayah
banjir dianggap sebagai pihak yang pasif dan tidak berdaya sehingga warga
masyarakat yang sebenarnya memiliki potensi yang dapat berperan menjadi solusi
problem bencana banjir itu sendidri malah terabaikan. Inilah masalah klasik
yang terus berulang dari waktu ke waktu.
Tulisan
ini tidak berpretensi mengharap datangnya bencana banjir disepanjang bantaran
bengawan solo, tetapi lebih kepada bagaimana realita itu menjadi bahan
perenungan dan pengkajian lebih mendalam.
*)
Suwarno, pegiat pramuka di Kwarcab Bojonegoro
Mail: suwarnobbt@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar