Pilkada dan Pendidikan Politik
Oleh : H.Suwarno, S.Pd.MM.
Di
tengah wacana dari berbagai kalangan dan organisasi yang mewacanakan pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung atau pemilihan melalui DPRD, maka pilkada
Bojonegoro yang sebentar lagi akan dihelat menjadi momentum yang tepat untuk
menangkis anggapan bahwa pilkada langsung banyak membawa dampak negatif (madharatnya) semacam budaya politik uang
(money politic), anarkhisme kerusuhan social,
penistaan SARA (suku, ras dan agama) serta dampak-dampak lain yang
menyertainya.
Hakekat
pilkada yang sehat sejatinya bukan sebatas dimensi penyaluran hak pilih dan
dipilih untuk menentukan kepala daerah ansich, tetapi sesungguhnya banyak nilai
yang ingin digapai dalam proses tersebut, misalnya pendidikan dan pembelajaran
politik kepada masyarakat baik terhadap masyarakat pemilih maupun calon kepala
daerah yang hendak dipilih dan dipercaya rakyat menjadi penggenggam amanah.
Sehingga didalam proses tahapannya diatur dengan nilai-nalai dan norma etika
selama persiapan, kampanye pemaparan visi-misi, penggunaan hak dibilik tempat
pemungutan suara sampai dengan penghitungan finalnya.
Untuk
memberikan jawaban yang nyata atas lontaran wacana bahwa pilkada tidak langsung
(perwakilan DPRD) masih lebih baik daripada pilkada langsung yang diwacanakan
pihak-pihak yang merindukan masa lalu, sudah barang tentu momen pilkada yang
pada Nopember nanti dilaksanakan harus “menjawab” dengan realita dalam proses
pelaksanaan dan outputnya, tidak sekedar
dengan perang wacana atau diskusi gontok-gontokan (adu argumentasi) yang
tiada pernah ada ujungnya.
Pertama,
adanya tertib pranata, aturan, undang-undang dan beretika budaya oleh semua pihak, baik
oleh pelaksana, pengawas maupun pemantau pilkada bahkan terhadap semua
kontestan yang dipilih maupun oleh pemilih disemua lapisan, sampai dengan
masyarakat grasroot (akar rumput). Bagi konteskan sikap taat aturan tersebut
akan mulai terlihat bagaimana mensosialisasikan eksistensinya dalam berbagai cara, metode dan strategi Perang baliho besar-besaran, perang spanduk
provokatif, perang slogan arogan,
gambar-gambar manipulatif, perang symbol partai dan organisasi, dipajang
disembarang tempat, menutup rambu lalu-lintas, dipaku di pepohonan, ditempel di
fasilitas umum, dipajang melintang ditengah jalan, adalah sebagaian referensi
apakah calon tersebut tertib aturan atau tidak. Karena dengan tertib
aturan oleh semua komponen masyarakat diharapkan hajatan pesta demokrasi akan
memimalisir kegaduhan politik serta menghindarkan terjadinya chaos dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kedua,
menumbuhkembangkan nurani kejujuran yang terimplementasi dalam pemaparan
visi-misi. Bagi calon sebagai konteskan pilkada penyampaian visi-misi yang
realistis dan tidak hanya janji-janji pepesan kosong kepada konstituen
(pemilih) adalah sebuah keniscayaan, karena kampanye obral janji dan program ngoyoworo
(tidak mungkin dilaksanakan) sejatinya
adalah pembodohan kepada masyarakat secara luas (massif) Meraih hati rakyat
dengan kejujuran hati nurani dan menghindarkan politik uang (money poliic) akan
semakin memberikan pencerahan kepada masyarakat yang kini sudah semakin melek
politik dan mengambil keputusan memilih dengan rasional. Hal serupa yang perlu
dijauhi adalah kampanye hitam dengan berbagai macam bentuk informasi yang
menyesatkan dengan mengangkat isu SARA (suku, ras dan agama) untuk menyerang
kandidat lain atau lawan politik.
Ketiga,
pilkada sebagai ruang belajar berdemokrasi berpolitik yang sehat dan berbudaya.
Pilkada yang berbudaya mensyaratkan kondisi dimana masyarakat pemilihnya
menerima perbedaan kepentingan dan perbedaan aspirasi politik sebagai
keniscayaan proses demokrasi. Perbedaan pilihan tidak dijadikan pembenar dan
propaganda untuk memaksakan kehendak (pressure), tidak diajdikan alasan
pemantik permusuhan (konflik) dan tindakan-tindakan anarkis yang merusak
(destruktif). Pilkada yang berbudaya menanamkan (internalisasi) nilai
pendidikan (edukatif) bahwa perbedaan berdemokrasi adalah kebhinnekaan sebagai
sebuah potensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dipahami bahwa
demokrasi bukanlah segala-galanya, demokrasi bukan tujuan terakhir tetapi
demokrasi lebih sebagai sarana untuk menggapai kesejahteraan dan kemakmuran
bersama.
Pendidikan
politik dan demokrasi dalam pilkada akan terwujud manakala seluruh masyarakat
dan stakeholder, bersama-sama meneguhkan komitmen bahwa proses pemilukada
adalah amanah konstitusi, sehingga tanggungjawab dipikul pundakkan kepada
semuanya. Integritas calon bupati dan wakil bupati sudah selayaknya tercermin
dalam sikap dan tindakan nyata, memberikan pencerahan bukan pembodohan,
menjadikan momentum edukasi, menjunjung norma etika, keteladanan nan paripurna,
berdedikasi dan amanah sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman melihat calon
pemimpinnya yang elegan dan bujaksana, dan kelak langkah-langkah kemajuan (progressif)
yang diraih dalam program dan hasil kinerja dapat mensejahterakan bagi
sebanyak-banyak masyarakat serta tidak salah kelola.
Keempat,
legowo kalah atau menang dalam menerima hasil purna proses pilkada. Menerima
produk pilkada dengan berbesar hati, bahwa produk pilkada adalah pilihan
terbaik rakyat merupakan sikap teladan calon pemimpin yang sangat mengedukasi
sehingga menginspirasi masyarakat Bojonegoro yang semakin dewasa dan meningkat
kualitas sumber daya manusianya. Suara rakyat adalah suara tuhan, akan
berdimensi nilai substantif politik, ketika semua saling menghargai dan
menghormati produk demokrasi yang diselenggarakan secara bersih, jujur dan adil
untuk semuanya.
Pasca
pilkada sessungguhnya semua telah mendedikasikan potensi terbaik, tumbuh satu
sikap elegan, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Bukan
mengamini kalah jadi abu, menang jadi arang dimana yang kalah dan yang menang dalam
pilkada sama-sama merugi/hancur karena turun ke palagan (arena pilkada)
dengan strategi “peperangan bumi hangus”.Jika semua kandidat dapat legowo atas
hasil yang diraih maka rakyat akan mengapresiasi calon yang kalah dengan
terhormat tanpa dendam dan yang menang tidak sombong, adidang adigung adiguna.
Walhasil,
sukses pilkada tidak ditengarai dengan ukuran (parameter) sukses
penyelenggaraan dan sukses memilih
kepala daerah terbaik semata, tetapi lebih dari itu pilkada haruslah
mampu memberikan ruang belajar pendidikan berpolitik sehingga masyarakat
semakin dewasa berdemokrasi di tengah pluralitas dan heterogenitas masyarakat
yang berbhinneka.
*) Suwarno adalah Trainer Teachers Quality Improvement
Dikotomi Putra Daerah Dan Problem
Pendidikan
Oleh : Suwarno, S.Pd.MM*
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjadi
benchmark (acuan dasar) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia telah menegaskan
bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, meningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah dan berkesinambungan.
Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.(Bab III pasal 4 ayat 1 dan 2 UU
Sisdiknas)
Makna
dari isi undang-undang tersebut adalah bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan
harus mengedepankan rasa keadilan, menjunjung hak asasi manusia, nilai agama,
kultur dan kemajemukan bangsa, demokratis dan tidak diskriminatif.
Penyelenggaraan dimaksud menyangkut peserta didik, tenaga pendidik dan
kependidikan maupun stakeholder didalam menggapai tujuan pendidikan seperti
diamantkan juga oleh UUD 1945.
Maka
ketika Radar Bojonegoro Jum’at 9 September 2011 mengangkat berita tentang
pernyataan politisi yang menyatakan ”Pergantian Kepala Disdik Pelecehan bagi
Pejabat Putra Daerah”, menimbulkan prasangka negatif bahwa statement tersebut
bukan semata-mata ingin mengkritisi secara
konstruktif pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas semata, melainkan
lebih kepada tendensi dan aroma politis. Mempertanyakan dikotomi antara putra
daerah dan luar daerah dalam penempatan pejabat di bidang pendidikan adalah
pemikiran sempit dan sesat karena sangat diskriminatif dan tidak atas dasar pertimbangan
kwalifikasi, kompetensi dan kapasitas seseorang sebagai leadership yang
berkelayakan.
Kalau
otonomi daerah dimaknai bahwa segalanya harus dari daerah sendiri maka pola
pikir kita sebagai warga negara akan
dikatagorikan dalam peribahasa
“Seperti katak dalam tempurung”, dan pemikiran-pemikiran sempit seperti itu
justru yang menjadi sentimen sukuisme, ras, golongan dan agama yang menjadi bibit-bibit perpecahan dan
disintegrasi bangsa. Otonomi daerah di bidang pendidikan seharusnya dimaknai
bagaimana seharusnya potensi peserta didik, regulasi pendidik, dan stakeholder
serta kearifan lokal, peluang dan tantangan yang ada di daerah dapat dikelola oleh SDM (human resources) yang berkwalitas
dan penguatan leadership, demi mencapai tujuan pendidikan yang memberi manfaat
bagi sebanyak-banyak orang.
Tata
kelola pendidikan di Bojonegoro selama ini banyak meninggalkan persoalan yang sangat menghambat upaya-upaya
peningkatan kualitas pendidikan baik dari sisi proses maupun output pendidikan .
Dan problem-problem yang menghadang
itulah yang seharusnya dicarikan jalan keluar terbaik oleh semua pihak,
bukan malah mempertanyakan dikotomi putra daerah versus putra luar daerah yang justru
mencederai amanat undang-undang.
Pertama, Banyak gedung sekolah yang
rusak, sementara ada mata anggaran rehabilitasi
gedung sekolah yang tidak terbelanjakan. Kenyataan
ini berawal dari ketidak beranian kepala
satker (kepala satuan kerja) karena banyaknya kejadian diberbagai satker yang
berurusan dengan ranah hukum karena pengelolaan anggaran yang bermasalah dalam
perjalanannya. Oleh karena itu penting ditumbuhkembangkan penguatan leadership dibidang pendidikan,
yakni kepemimpinan pendidikan di daerah yang berani mengambil kebijakan
(polecy) demi sebuah perubahan positif meski disitu ada beberapa konsekwensi
yang bisa jadi tidak populer bagi pemimpin tersebut. Dan bukan pemimpin yang
salah kelola karena takut setiap tindakannya bisa menjadikannya beurusan dengan
meja hijau terkait sebagai penanggungjawab pengguna anggaran.
Kedua, Pemberian tunjangan profesional
pendidik (TPP) yang tidak lancar. Sebagai
salah satu wujud reward yang diharapkan dapat memotivasi guru dalam meningkatkan
kinerjanya, ketidakberesan dalam mendistribusikan tunjangan yang menjadi hak
guru akan menjadi kendala karena guru merasa tidak diberlakukan secara adil.
Saat dimana daerah tetangga telah menerima tunjangan secara penuh, di
Bojonegoro masih menyisasakan masalah karena anggaran sudah ada (meski kurang
sedikit) tetapi tidak segera diterimakan pada yang berhak.
Ketiga, Bantuan Dana Operasional Sekolah
(BOS) yang sering terlambat.
Bojonegoro termasuk diantara sedikit daerah di Jawa Timur yang tidak lancar
mendistribusikan dana operasional yang sangat dibutuhkan oleh lembaga sekolah.
Sebagai salah satu contoh, disaat depdiknas segera mencairkan BOS tri bulan
keempat, di Bojonegoro masih belum mencairkan anggaran tri bulan ketiga yang
segera berakhir di bulan september. Itu artinya lembaga sekolah harus
memberi/mencari talangan mulai bulan juli sampai dengan september agar proses
pembelajaran tetap bisa berlangsung di setiap lembaga pendidikan.
Keempat, penguatan dan rekrutmen
pengawas sekolah yang tidak terencana
dengan baik. Upaya penguatan
pengawas sekolah yang sering digembar gemborkan pemerintah daerah dan dinas
pendidikan ternyata hanya pepesan kosong belaka. Kenyataan tersebut sangat
kentara karena sejak dua tahun lalu diknas sudah sangat kekurangan tenaga
pengawas disemua jenjang, sementara hasil binsel (pembinaan dan seleksi) calon pengawas
baru yang sudah lulus hampir dua tahun lalu tidak segera dilantik. Bila aturan
pengawas tidak boleh lebih dari usia 50 tahun, maka hasil tersebut akan sia-sia
karena banyak calon pengawas yang lulus dan saat ini usinya sudah lebih dari 50
tahun, tidak bisa dilantik menjadi pengawas sekolah kalau tidak ingin menabrak
aturan.
Kelima, Pemetaan guru yang semrawut.
Belum lama ini telah dilaksanakan pemetaan dan mutasi guru besar-besaran dengan
tujuan agar ada pemerataan tenaga edukatif diseluruh jenjang pendidikan dengan
memperhatikan kedekatan tempat tinggal guru dan tempat mengajar. Dengan
pertimbangan geografis tersebut diharapkan ada efisiensi waktu dan tenaga
sehingga kinerja pendidik bisa ditingkatkan secara signifikan. Namun realitanya
program tersebut hanya ideal ditingkat konsep tetapi payah dalam
implementasinya karena anjab (analisis jabatan) dan kebutuhan tenaga pendidik
yang diajukan dari bawah tidak ditindaklanjuti secara komprehenship tapi secara
parsial. Sebagai illustrasi, disebuah kecamatan ada beberapa SD yang diregrouping
(dijadikan satu lembaga) agar efisien, sehingga beberapa guru dimutasi ke
sekolah lain yang kekurangan guru. Ironisnya saat pemetaandan mutasi, lembaga
sekolah tersebut malah ditambah tiga sampai empat guru, dan celakanya lembaga
sekolah yang sudah dimutasi gurunya dengan rencana mendapat tambahan dari
sekolah yang kelebihan tenaga ternyata tidak direalisasikan, sehingga muncul
kesenjangan dan kekurangan guru.
Realitas
memprihatinkan diatas perlu segera dicarikan solusi terbaik agar beberapa
kendala dan keruewtan dalam pengelolaan pendidikan di Bojonegoro tersebut
segera terurai dengan penguatan komitmen semua pihak. Tentunya tidak dengan
kegaduhan beberapa pihak yang berteriak-terika tentang dikotomi putra daerah.
*) Trainer Teachers Quality
Improvement Program (TEQIP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar