Senin, 11 Maret 2013

Artikel Politik


Pilkada dan Pendidikan Politik

Oleh : H.Suwarno, S.Pd.MM.


            Di tengah wacana dari berbagai kalangan dan organisasi yang mewacanakan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau pemilihan melalui DPRD, maka pilkada Bojonegoro yang sebentar lagi akan dihelat menjadi momentum yang tepat untuk menangkis anggapan bahwa pilkada langsung banyak membawa dampak negatif  (madharatnya) semacam budaya politik uang (money politic), anarkhisme  kerusuhan social, penistaan SARA (suku, ras dan agama) serta dampak-dampak lain yang menyertainya.
Hakekat pilkada yang sehat sejatinya bukan sebatas dimensi penyaluran hak pilih dan dipilih untuk menentukan kepala daerah ansich, tetapi sesungguhnya banyak nilai yang ingin digapai dalam proses tersebut, misalnya pendidikan dan pembelajaran politik kepada masyarakat baik terhadap masyarakat pemilih maupun calon kepala daerah yang hendak dipilih dan dipercaya rakyat menjadi penggenggam amanah. Sehingga didalam proses tahapannya diatur dengan nilai-nalai dan norma etika selama persiapan, kampanye pemaparan visi-misi, penggunaan hak dibilik tempat pemungutan suara sampai dengan penghitungan finalnya.
Untuk memberikan jawaban yang nyata atas lontaran wacana bahwa pilkada tidak langsung (perwakilan DPRD) masih lebih baik daripada pilkada langsung yang diwacanakan pihak-pihak yang merindukan masa lalu, sudah barang tentu momen pilkada yang pada Nopember nanti dilaksanakan harus “menjawab” dengan realita dalam proses pelaksanaan  dan outputnya, tidak sekedar dengan perang wacana atau diskusi gontok-gontokan (adu argumentasi) yang tiada pernah ada ujungnya.
Pertama, adanya tertib pranata, aturan, undang-undang  dan beretika budaya oleh semua pihak, baik oleh pelaksana, pengawas maupun pemantau pilkada bahkan terhadap semua kontestan yang dipilih maupun oleh pemilih disemua lapisan, sampai dengan masyarakat grasroot (akar rumput). Bagi konteskan sikap taat aturan tersebut akan mulai terlihat bagaimana mensosialisasikan eksistensinya dalam  berbagai cara, metode dan strategi Perang baliho besar-besaran, perang spanduk provokatif, perang slogan  arogan, gambar-gambar manipulatif, perang symbol partai dan organisasi, dipajang disembarang tempat, menutup rambu lalu-lintas, dipaku di pepohonan, ditempel di fasilitas umum, dipajang melintang ditengah jalan, adalah sebagaian referensi apakah calon tersebut tertib aturan atau tidak. Karena dengan tertib aturan oleh semua komponen masyarakat diharapkan hajatan pesta demokrasi akan memimalisir kegaduhan politik serta menghindarkan terjadinya chaos dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kedua, menumbuhkembangkan nurani kejujuran yang terimplementasi dalam pemaparan visi-misi. Bagi calon sebagai konteskan pilkada penyampaian visi-misi yang realistis dan tidak hanya janji-janji pepesan kosong kepada konstituen (pemilih) adalah sebuah keniscayaan, karena kampanye obral janji dan program ngoyoworo (tidak mungkin dilaksanakan)  sejatinya adalah pembodohan kepada masyarakat secara luas (massif) Meraih hati rakyat dengan kejujuran hati nurani dan menghindarkan politik uang (money poliic) akan semakin memberikan pencerahan kepada masyarakat yang kini sudah semakin melek politik dan mengambil keputusan memilih dengan rasional. Hal serupa yang perlu dijauhi adalah kampanye hitam dengan berbagai macam bentuk informasi yang menyesatkan dengan mengangkat isu SARA (suku, ras dan agama) untuk menyerang kandidat lain atau lawan politik.
Ketiga, pilkada sebagai ruang belajar berdemokrasi berpolitik yang sehat dan berbudaya. Pilkada yang berbudaya mensyaratkan kondisi dimana masyarakat pemilihnya menerima perbedaan kepentingan dan perbedaan aspirasi politik sebagai keniscayaan proses demokrasi. Perbedaan pilihan tidak dijadikan pembenar dan propaganda untuk memaksakan kehendak (pressure), tidak diajdikan alasan pemantik permusuhan (konflik) dan tindakan-tindakan anarkis yang merusak (destruktif). Pilkada yang berbudaya menanamkan (internalisasi) nilai pendidikan (edukatif) bahwa perbedaan berdemokrasi adalah kebhinnekaan sebagai sebuah potensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dipahami bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya, demokrasi bukan tujuan terakhir tetapi demokrasi lebih sebagai sarana untuk menggapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Pendidikan politik dan demokrasi dalam pilkada akan terwujud manakala seluruh masyarakat dan stakeholder, bersama-sama meneguhkan komitmen bahwa proses pemilukada adalah amanah konstitusi, sehingga tanggungjawab dipikul pundakkan kepada semuanya. Integritas calon bupati dan wakil bupati sudah selayaknya tercermin dalam sikap dan tindakan nyata, memberikan pencerahan bukan pembodohan, menjadikan momentum edukasi, menjunjung norma etika, keteladanan nan paripurna, berdedikasi dan amanah sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman melihat calon pemimpinnya yang elegan dan bujaksana, dan kelak langkah-langkah kemajuan (progressif) yang diraih dalam program dan hasil kinerja dapat mensejahterakan bagi sebanyak-banyak masyarakat serta tidak salah kelola.
Keempat, legowo kalah atau menang dalam menerima hasil purna proses pilkada. Menerima produk pilkada dengan berbesar hati, bahwa produk pilkada adalah pilihan terbaik rakyat merupakan sikap teladan calon pemimpin yang sangat mengedukasi sehingga menginspirasi masyarakat Bojonegoro yang semakin dewasa dan meningkat kualitas sumber daya manusianya. Suara rakyat adalah suara tuhan, akan berdimensi nilai substantif politik, ketika semua saling menghargai dan menghormati produk demokrasi yang diselenggarakan secara bersih, jujur dan adil untuk semuanya.
Pasca pilkada sessungguhnya semua telah mendedikasikan potensi terbaik, tumbuh satu sikap elegan, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Bukan mengamini kalah jadi abu, menang jadi arang dimana yang kalah dan yang menang dalam pilkada sama-sama merugi/hancur karena turun ke palagan (arena pilkada) dengan strategi “peperangan bumi hangus”.Jika semua kandidat dapat legowo atas hasil yang diraih maka rakyat akan mengapresiasi calon yang kalah dengan terhormat tanpa dendam dan yang menang tidak sombong, adidang adigung adiguna.
Walhasil, sukses pilkada tidak ditengarai dengan ukuran (parameter) sukses penyelenggaraan dan sukses memilih  kepala daerah terbaik semata, tetapi lebih dari itu pilkada haruslah mampu memberikan ruang belajar pendidikan berpolitik sehingga masyarakat semakin dewasa berdemokrasi di tengah pluralitas dan heterogenitas masyarakat yang berbhinneka.

*) Suwarno adalah Trainer Teachers     Quality Improvement 

Dikotomi Putra Daerah Dan Problem Pendidikan

Oleh : Suwarno, S.Pd.MM*


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menjadi benchmark (acuan dasar) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia telah menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.(Bab III pasal 4 ayat 1 dan 2 UU Sisdiknas)
Makna dari isi undang-undang tersebut adalah bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan harus mengedepankan rasa keadilan, menjunjung hak asasi manusia, nilai agama, kultur dan kemajemukan bangsa, demokratis dan tidak diskriminatif. Penyelenggaraan dimaksud menyangkut peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan maupun stakeholder didalam menggapai tujuan pendidikan seperti diamantkan juga oleh UUD 1945.
Maka ketika Radar Bojonegoro Jum’at 9 September 2011 mengangkat berita tentang pernyataan politisi yang menyatakan ”Pergantian Kepala Disdik Pelecehan bagi Pejabat Putra Daerah”, menimbulkan prasangka negatif bahwa statement tersebut bukan semata-mata ingin mengkritisi  secara konstruktif pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas semata, melainkan lebih kepada tendensi dan aroma politis. Mempertanyakan dikotomi antara putra daerah dan luar daerah dalam penempatan pejabat di bidang pendidikan adalah pemikiran sempit dan sesat karena sangat diskriminatif dan tidak atas dasar pertimbangan kwalifikasi, kompetensi dan kapasitas seseorang sebagai leadership yang berkelayakan.
Kalau otonomi daerah dimaknai bahwa segalanya harus dari daerah sendiri maka pola pikir kita sebagai warga negara akan  dikatagorikan dalam  peribahasa “Seperti katak dalam tempurung”, dan pemikiran-pemikiran sempit seperti itu justru yang menjadi sentimen sukuisme, ras, golongan dan agama  yang menjadi bibit-bibit perpecahan dan disintegrasi bangsa. Otonomi daerah di bidang pendidikan seharusnya dimaknai bagaimana seharusnya potensi peserta didik, regulasi pendidik, dan stakeholder serta kearifan lokal, peluang dan tantangan yang ada di daerah dapat dikelola  oleh SDM (human resources) yang berkwalitas dan penguatan leadership, demi mencapai tujuan pendidikan yang memberi manfaat bagi sebanyak-banyak orang.
Tata kelola pendidikan di Bojonegoro selama ini banyak meninggalkan  persoalan yang sangat menghambat upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan baik dari sisi proses maupun output pendidikan . Dan problem-problem yang menghadang  itulah yang seharusnya dicarikan jalan keluar terbaik oleh semua pihak, bukan malah mempertanyakan dikotomi putra daerah versus putra luar daerah yang justru mencederai amanat undang-undang.
Pertama, Banyak gedung sekolah yang rusak, sementara ada mata anggaran rehabilitasi gedung sekolah yang tidak terbelanjakan. Kenyataan ini berawal dari  ketidak beranian kepala satker (kepala satuan kerja) karena banyaknya kejadian diberbagai satker yang berurusan dengan ranah hukum karena pengelolaan anggaran yang bermasalah dalam perjalanannya. Oleh karena itu penting ditumbuhkembangkan  penguatan leadership dibidang pendidikan, yakni kepemimpinan pendidikan di daerah yang berani mengambil kebijakan (polecy) demi sebuah perubahan positif meski disitu ada beberapa konsekwensi yang bisa jadi tidak populer bagi pemimpin tersebut. Dan bukan pemimpin yang salah kelola karena takut setiap tindakannya bisa menjadikannya beurusan dengan meja hijau terkait sebagai penanggungjawab pengguna anggaran.
Kedua, Pemberian tunjangan profesional pendidik (TPP) yang tidak lancar. Sebagai salah satu wujud reward yang diharapkan dapat memotivasi guru dalam meningkatkan kinerjanya, ketidakberesan dalam mendistribusikan tunjangan yang menjadi hak guru akan menjadi kendala karena guru merasa tidak diberlakukan secara adil. Saat dimana daerah tetangga telah menerima tunjangan secara penuh, di Bojonegoro masih menyisasakan masalah karena anggaran sudah ada (meski kurang sedikit) tetapi tidak segera diterimakan pada yang berhak.
Ketiga, Bantuan Dana Operasional Sekolah (BOS) yang sering terlambat. Bojonegoro termasuk diantara sedikit daerah di Jawa Timur yang tidak lancar mendistribusikan dana operasional yang sangat dibutuhkan oleh lembaga sekolah. Sebagai salah satu contoh, disaat depdiknas segera mencairkan BOS tri bulan keempat, di Bojonegoro masih belum mencairkan anggaran tri bulan ketiga yang segera berakhir di bulan september. Itu artinya lembaga sekolah harus memberi/mencari talangan mulai bulan juli sampai dengan september agar proses pembelajaran tetap bisa berlangsung di setiap lembaga pendidikan.
Keempat, penguatan dan rekrutmen pengawas sekolah yang tidak terencana dengan baik. Upaya penguatan pengawas sekolah yang sering digembar gemborkan pemerintah daerah dan dinas pendidikan ternyata hanya pepesan kosong belaka. Kenyataan tersebut sangat kentara karena sejak dua tahun lalu diknas sudah sangat kekurangan tenaga pengawas disemua jenjang, sementara hasil binsel (pembinaan dan seleksi) calon pengawas baru yang sudah lulus hampir dua tahun lalu tidak segera dilantik. Bila aturan pengawas tidak boleh lebih dari usia 50 tahun, maka hasil tersebut akan sia-sia karena banyak calon pengawas yang lulus dan saat ini usinya sudah lebih dari 50 tahun, tidak bisa dilantik menjadi pengawas sekolah kalau tidak ingin menabrak aturan.
Kelima, Pemetaan guru yang semrawut. Belum lama ini telah dilaksanakan pemetaan dan mutasi guru besar-besaran dengan tujuan agar ada pemerataan tenaga edukatif diseluruh jenjang pendidikan dengan memperhatikan kedekatan tempat tinggal guru dan tempat mengajar. Dengan pertimbangan geografis tersebut diharapkan ada efisiensi waktu dan tenaga sehingga kinerja pendidik bisa ditingkatkan secara signifikan. Namun realitanya program tersebut hanya ideal ditingkat konsep tetapi payah dalam implementasinya karena anjab (analisis jabatan) dan kebutuhan tenaga pendidik yang diajukan dari bawah tidak ditindaklanjuti secara komprehenship tapi secara parsial. Sebagai illustrasi, disebuah kecamatan ada beberapa SD yang diregrouping (dijadikan satu lembaga) agar efisien, sehingga beberapa guru dimutasi ke sekolah lain yang kekurangan guru. Ironisnya saat pemetaandan mutasi, lembaga sekolah tersebut malah ditambah tiga sampai empat guru, dan celakanya lembaga sekolah yang sudah dimutasi gurunya dengan rencana mendapat tambahan dari sekolah yang kelebihan tenaga ternyata tidak direalisasikan, sehingga muncul kesenjangan dan kekurangan guru.
Realitas memprihatinkan diatas perlu segera dicarikan solusi terbaik agar beberapa kendala dan keruewtan dalam pengelolaan pendidikan di Bojonegoro tersebut segera terurai dengan penguatan komitmen semua pihak. Tentunya tidak dengan kegaduhan beberapa pihak yang berteriak-terika tentang dikotomi putra daerah.


*) Trainer Teachers Quality Improvement Program (TEQIP)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar