Spiritualitas dan Kelenturan Ruang
(Pengantar
Puisi Nono Warnono)
Mungkin salah satu hal
yang perlu saya catat dalam perjalanan kepenyairan saya adalah bertemu dengan
Nono Warnono. Mengapa demikian? Tentu saja karena saya juga menulis puisi. Saya
butuh refrensi yang lebih dari sekedar buku: sesuatu yang lebih riil
(pengalaman manusia). Literasi itu saya nikmati dari obrolan sederhana yang
terjadi, juga ketika membaca karya-karyanya.
Nono datang dengan cara
yang sesederhana justru ketika dunia kepenyairan sedang dilanda megalomaniak
akut; sebuah lingkaran yang entah mengapa begitu susah belajar menunduk dan
terlalu pongah. Ya, sangat sederhana: sebagai pribadi, pun puisi-puisi yang ia
bawa pada saya.
Sekali lagi, saya
mencintai kesederhanaan. Sebuah konsep yang—bila mengacu pada dekonstruksi
Jacques Derrida—lebih tepat kiranya disebut sebagai simbol. Karena,
kesederhanaan itu ada sekaligus tiada. Saya masuki pengalaman kesederhanaan dan
lautan simbol itu begitu terasa ketika membaca sekaligus menikmati puisi pria
yang sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pendidikan di Bojonegoro.
Yang perlu saya garis
bawahi selama proses kurasi puisi-puisi Nono adalah cara saya memilah antara
karya dan penulisnya. Jujur saja, tanpa mengenal sosok Nono sebagai pribadi,
mungkin saya akan kesulitan memahami puisinya. Saya melihat, karya dan pribadi
Nono adalah dua hal yang sulit dicari batas pemisahannya. Mungkin kesulitan
saya menyelami (dari sisi teks) terjadi karena cara berpikir dan konsep puisi
(ideal) di kepala saya adalah sesuatu yang kontemporer. Ya, saya terlalu jauh
masuk ke dalam pasar puisi kontemporer yang umum dan kanonis.
Singkatnya, mengapa
saya menganggap puisi Nono berbeda dari puisi pada umumnya adalah karena
keseluruhan puisinya (sebagai teks) begitu membumi; puisi yang tak hendak pergi
ke kota sebagai urban. Semacam puisi yang tidak latah untuk meliar—mencoba lari
dari penjinakan bahasa.
Sebelum masuk lebih
jauh untuk membicarakan puisinya, saya melakukan scaning; membaca cepat
puisinya dan mencari hipotesis yang saya anggap paling tepat untuk menjawab: mengapa
puisi Nono selamat dari wabah puisi kontemporer? Pada awalnya, saya berpikir
diksi-diksi Jawa dan sentuhan Islam membuat puisi Nono jadi berbeda. Meski
ternyata, saya akui sendiri bila analisis saya memang tidak sepenuhnya benar.
Karena unsur-unsur Jawa
dan Islam—yang awalnya saya anggap sebagai kerangkeng bahasa—pernah
disalahpahami bersama sebagai unsur pembelenggu. Sebuah konsep yang normatif;
tempat di mana segala yang liar harus dijinakkan dalam kesantunan yang formal.
Padahal, bila meletakkan sejenak puisi Nono dan masuk lebih dulu ke dalam Jawa
dan Islam sebagai satu kesatuan nilai, ternyata punya dimensi yang sangat luas
dan menghasilkan pengalaman tersendiri.
Harus saya akui, Jawa
dan Islam adalah titik pijak yang menawarkan cakrawala baru yang justru lebih
liar, radikal bahkan nampak liberal. Mengapa liberal? Tentu saja, karena konsep
itu penuh dengan sesuatu yang paradoksal. Penuh cabang dan liku-liku yang
membuat desiran ganjil di batin. Misteri yang ada di dalamnya dan beberapa
ritus yang melatarbelakangi kebudayaannya menyajikan tirai misteri yang perlu
didekonstruksi lebih dalam agar sampai pada lapis-lapis makna yang tak terduga.
Jadi, klaim keliaran—yang selama ini untuk gincu kosmetik dunia kesusastraan—bukan
hanya milik urban.
Tanpa bermaksud
membela, harus saya akui, puisi Nono memang cukup menarik sebagai gejala,
tetenger, atau papan penunjuk arah agar manusia tahu jalan pulang. Sedangkan
sebagai teks, masih banyak ruang debat yang perlu dilewati guna menguji
kelayakan puisi Nono melengkapi kesusastraan Indonesia.
Menjadi
Otentik dalam Spiritualitas (Jawa dan Islam)
Di dunia kesusastraan
Indonesia hari ini, saya melihat ada sebuah pola arus yang melingkar. Kalau
pada awalnya, urban adalah alternatif lain di tengah pola pandang lama
kesusastraan Indonesia, tapi hari ini mendadak urban adalah sesuatu yang mayor.
Setelah urban seolah jadi kanon dan menjadi tema sentral, saya justru melihat
gejala inferioritas yang tersembunyi di balik karya-karya yang keluar dan
tercatat.
Belum
sah sebagai puisi kalau belum urban. Mungkin penilaian
saya berlebihan. Tapi, ketika saya didaulat untuk mengkurasi karya-karya
penyair di daerah, saya dikejutkan oleh tumpukan puisi buah-sayur yang hendak
pergi ke kota. Bahkan di dalam obrolan dan diskusi sastra dengan beberapa
rekan, saya mendapati celetukan yang
menyayat: hari ini penyair mana yang
sanggup tidak terjebak untuk menjadi
afrizalian?
Mungkin dari sinilah
saya angkat topi pada Nono. Tema-tema spiritual dengan bumbu Islam dan Jawa
adalah caranya menjadi otentik sebagai penyair; sebagai penulis. Yang saya
maksud otentik di sini adalah minimnya ruang untuk membelah antara penyair dan
karyanya. Saya rasa, ada dua kemungkinan mengapa nuansa Jawa begitu kental pada
puisi Nono. Pertama, Nono adalah
penulis puisi berbahasa Jawa yang sudah punya nama. Kedua, Jawa sebagai konsep dan sikap hidup begitu melekat kuat
dalam kehidupan penulis.
Faktor ke dua ini juga
didukung oleh kemungkinan yang ketiga. Di mana dalam pembacaan saya, Nono
adalah tipikal penyair lama yang konservatif. Dia tidak terburu-buru untuk
menjadi sesuatu atau dengan kata lain: tidak mudah tercerabut dari akar
kebudayaannya. Tema spiritualitas dalam puisi Nono inilah yang kemudian menjadi
kekuatan sekaligus jurang dalam yang menggelincirkan penulis.
Bila mengacu pada
istilah: kata, konsekwensi dan tanggung jawab sosial, bisa jadi puisi Nono
ada di wilayah itu. Istilah yang baru saja saya sebut merupakan satu kesatuan
konsep yang berarti kata punya konsekwensi serta memiliki tanggung jawab
sosial. Artinya, kata tidak lahir begitu saja, tapi punya sejarah; refren yang
jelas di kehidupan penulis. Penulis semacam ini memperlakukan kata sebagai
sesuatu yang ideologis, bukan praktis.
Sebagai
penyair lama, Nono menjadikan kata sebagai sesuatu yang kudus, berkaitan dengan
keyakinan dan bukan sekedar persoalan strategi bahasa semata untuk politik
konstruksi makna; sekedar indah tapi rentan pada substansi. Meski caranya
berbahasa punya dasar yang jelas, tapi bagi saya, puisi tidak hanya sekedar
substansi yang tak mempertimbangkan sisi estetik. Bagi saya, tanpa strategi
bahasa—untuk mengejar sisi estetik—puisi telah kehilangan separuh kekuatannya.
Karena, terkadang
getaran yang ditimbulkan dari ledakan estetik itulah pembaca dapat menggali
makna secara pribadi dan mampu terlepas serta merdeka dari makna sebenarnya
yang ditulis oleh penyairnya. Jalan puisi yang Nono tempuh memang bagus, meski
bukan tanpa cela. Kumpulan puisi ini memiliki kecenderungan untuk mengkuliahi
pembaca tentang apa yang seharusnya dilakukan. Tapi, yang membuat puisi ini
jadi mahal adalah karena makna di dalamnya disajikan dalam sesuatu yang utuh
dan bulat. Apa yang menjadi Jawa dan Islam tampil sebagai teralis pembatas agar
pembaca tidak terjebak pada nihilisme Nietzsche sebagaimana yang ditawarkan
puisi bertema urban—nampak merdeka tapi kosong dan cepat hilang. Bila puisi
urban memang nampak gagah dan kompleks sebagai keindahan, tapi kepungan diksi
di dalamnya justru mengaborsi dirinya sendiri. Berbeda dengan puisi Nono,
mistisme yang sufistik pada antologi puisi ini punya kemungkinan
mendekonstruksi dirinya sendiri menjadi alternatif lain mengatasi puisi-puisi
urban para nihilis.
Untuk lebih memahami
puisi Nono, sebaiknya saya menguliti beberapa puisinya untuk mendapat gambaran
yang utuh mengenai strategi penyair mengolah puisi-puisinya. Seperti pada puisi
Merawat Meruwat dapat dilihat cara
penyair menyajikan makna—yang final—dengan caranya sendiri.
Menjulang Penanggungan
dan Welirang
Di antara tasbih
tahmid dedaun
Mengasuh pemandian purba
Disucikan titik
mata air tiga puluh tiga
Dari empat
penjuru
Bejana-bejana
mantra terapal japa
Memancar doa
selamat
Candi sejarah
dan legenda
Manunggal tirta.
Saatnya bumi
diruwat,
Dijamasi dari
congkak dan maksiat.
Sebagaimana
lazimnya puisi lama makna dan pesan disajikan dengan cara yang runtut. Pada
puisi merawat meruwat, puisi dibuka
dengan latar atau seting. Di bagian kedua, masuk pada proses yang melengkapi
latar puisi. Dan di bagian terakhir, pesan—yang (nampak) final—itu dibawa
dengan gamblang pada kata: saatnya bumi
diruwat / dijamasi dari congkak dan
maksiat. Di bagian akhir puisi dapat ditangkap pesan beserta penjelasan
mengenai alasan mengapa (sekarang adalah) saatnya
bumi diruwat.
Sedangkan
mengenai konsep nilai Jawa dan Islam mungkin dapat diwakili pada puisi Pemuja. Berikut ini saya tampilkan
secara utuh agar lebih jelas:
Sengsem*
menyukma
Bintang, bulan
di biru telaga
Ketika angin
senja
Bumi dengan cahaya
Lembut jiwa
Di bebatu
sungai, gadis-gadis tertawa
Di antara kicau
dan tetegaran* hewan hutan
Di sudut kilatan
syahwat wanita penjaja
Ke relung, kalbu
mengembara
Mendongak Arys
yang silau cahaya
Dari catatan
Sijjin* dan Illiyyin*
Puisi
inilah yang saya sebut di awal sebagai cara menjadi otentik dalam spiritualitas
(Jawa dan Islam). Puisi ini jelas memiliki realitasnya di mana digambarkan pada
bagian kedua di puisi ini. Sedangkan para bagian pertama, seperti saya katakan
di awal—sebagaimana khas penyair lama—membuka puisi dengan citraan alam sebelum
masuk pada realitas. Sedangkan di bagian ketiga puisi ini memang masih berupa
lanskap yang menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa disikapi. Untuk memungkasi
caranya memandang realitas, ia menggunakan: Arys
yang silau cahaya / Dari catatan
Sijjin* dan Illiyyin*.
Kata
Sijjin dan Illiyyin inilah yang menjadi kunci cara pandang penyair pada sebuah
realitas. Meski dua kata tersebut digunakan untuk melumrahkan sebuah peristiwa
sehingga jelas presisinya dalam konteks nilai, tapi dua hal ini pula memiliki
peluang untuk diarungi lebih dalam. Inilah yang saya sebut di awal sebagai
kesederhanaan yang tidak sederhana, tapi lebih tepat bila dikatakan sebagai
simbol.
Kalau
pada umumnya puisi (lama) punya potensi untuk mendikte pembacanya dalam hal
pemaknaan, tapi ending yang
dihadirkan penyair—idiom-idiom dari kamus Islam—justru membuka ruang untuk
diselami lebih jauh. Sedangkan untuk puisi Merawat
Meruwat, saya ingin menggaris bawahi bagian ketiga pada kata meruwat. Kata ini juga punya potensi
untuk diturunkan ke dalam konteks yang lebih luas maknanya. Pembaca dapat
mendekonstruksi puisi ini menjadi sesuatu yang benar-benar baru.
Idiom
Jawa dan Islam, yang selama ini dipandang kritikus sebagai kerangkeng makna,
tidak terbukti pada puisi Nono. Meski puisi ini nampak begitu sederhana (dari
keseluruhan teks, terutama strategi puitik yang diambil), tapi puisi ini mampu
membuka dirinya sendiri untuk diterjemahkan dengan cara yang berbeda bergantung
pada pengalaman pembaca menggeluti Islam dan Jawa.
Karena
sebagaimana dekonstruksi yang dikemukakan Derrida, bila tidak ada yang permanen
dalam teks; sesuatu yang bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang berbeda.
Selain itu, tak ada tafsiran dominan atas teks nono yang sifatnya otoritatif.
Dan sebagaimana yang Derrida kemukakan, yang bisa ditemui dalam teks adalah jejak-jejak (trace) dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya
sendiri. Serta konsep iterabilitas, di mana kemampuan teks untuk dapat dimaknai
dalam konteks yang berbeda-beda.
Kekuatan
pada teks di antologi ini adalah kemampuannya menjadi simbol Jawa dan Islam,
tapi tetap dapat dimaknai karena sifatnya lentur. Karena, konsep Jawa dan Islam
yang digunakan di puisi ini bukanlah pagelaran kata benda, melainkan konsep
yang bebas tafsir.
Meski
saya memiliki apresiasi pada puisi-puisi Nono, tapi saya perlu melihatnya
dengan helicopter view, yakni melihat
secara keseluruhan teks puisi dari antologi ini. Saya melihat adanya paradok
yang sebenarnya cukup mengganggu. Karena, bila penyair hendak mengawinkan
antara puisi bahasa Indonesianya dengan nilai Jawa dan Islam, maka seharusnya
ia memiliki kekayaan bahasa. Ia bisa lebih merdeka mengeksplor kata dan
berbagai idiom Jawa untuk dijadikan sarana pembaca berselancar mencari makna
sendiri-sendiri tanpa bergantung pada makna sebenarnya yang dimaksudkan
penulis.
Tapi,
dalam puisi ini saya melihat adanya keterbatasan, dalam arti masih ada
pengulangan-pengulangan istilah yang ada di beberapa puisi. Terus terang hal ini
mengganggu saya dan menjadi paradok atas puisi-puisi Nono. Bila penyair mampu
membawa pembaca berselancar imajinasi dan pikiran pada nilai-nilai Jawa dan
Islam yang sangat debatable, mengapa
ia tak memaksimalkannya. Inilah yang saya sayangkan.
Apa
yang baru saja saya sampaikan ini pun masih bersifat dugaan. Karena, refrensi
secara teks, tidak akan cukup tanpa melihat pribadi Nono sebagai seorang kawan
yang rendah hati. Karena, mungkin saja saat ini Nono sedang berpuasa: mampu
melakukan sesuatu yang lebih dalam puisinya, namun ia memutuskan untuk
mencukupkan atau membatasi sebagaimana dalam ritus budaya Jawa dan syariat
Islam. Selain itu, yang tak kalah penting untuk saya sampaikan adalah apresiasi
saya pada antologi ini di mana, karya ini merupakan perpaduan antara cara
pandang atas realitas, ideologi yang kemudian menetes sebagai puisi.
Mengatasi
Kelimpahruahan
Terus
terang saya tidak punya maksud untuk membanding-bandingkan puisi urban dengan
tema puisi Nono. Karena, setiap puisi punya kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Namun, yang ingin saya sampaikan di sini bukanlah mengenai
baik-buruk sebuah puisi dan mana yang lebih unggul. Yang ingin saya tekankan
adalah pada relevansi—mana yang lebih dibutuhkan oleh zaman dan dunia
kesusastraan hari ini.
Seperti
yang saya katakan di awal, saya sempat mengalami kesulitan masuk ke dalam puisi
Nono lantaran mindset yang ada di kepala saya adalah sesuatu yang sifatnya
urban. Mungkin hal ini wajar lantaran kedegilan kanonisasi sastra yang saat ini
terjadi terbukti tak mampu dikurangi hegemoninya oleh media sosial dan
komunitas.
Ketika
puisi pasar sedang demam pada sesuatu yang mambu urban, puisi Nono jadi punya tempat guna memberi jeda agar
seseorang kembali ke dalam mesjid kampung yang sebenarnya sudah ada di dalam
diri pembaca. Mesjid itulah yang sedang berdebu dan suwung karena puisi—yang
sebenarnya mampu sebagai alat refleksi batin—hari ini hanya berisi liarnya
sampah-sampah kota yang nampak indah dan megah tapi sebenarnya keropos. Puisi
hari ini tidak lebih hanya melanggengkan kelimpahruahan objek yang (secara
tidak langsung) memupuk konsumerisme pembacanya.
Mengapa
demikian? Tentu saja karena puisi hari ini nampak seperti semburan benda-benda
(objek) yang mengepung dan melingkupi manusia. Sementara puisi Nono bukanlah
semburan objek yang menyebabkan kelimpahruahan, melainkan sajian konsep yang debatable. Dan Nono pun tak hendak
memaksakan makna dan nilai-nilai, tapi mengajak pembaca—khususnya yang juga
orang Jawa dan Islam—kembali pada apa yang sejati. Dan definisi kesejatian itu
sudah ada di dalam diri dan kesadaran masing-masing pembaca.
Bila
puisi urban dan segala gemerlapnya adalah kelimpahruahan objek, maka puisi Nono
adalah ruang tempat menyimpan kelimpahruahan itu untuk diolah menjadi cahaya.
Karena, menurut saya tidak ada baik-buruk. Kalau pun ada ledakan implusif yang
sifatnya destruktif, itu hanya bagian dari dismanajemen benda-benda dan akibat
dari kurangnya ruang untuk menampung.
Apakah
melalui antologi ini Nono bebas dari pekerjaan rumah? Tentu saja tidak! Ada
pencapaian-pencapaian artistik yang perlu digali lebih dalam agar tidak
berhenti pada kata sederhana. Tapi, dalam segi tema, puisi ini jelas mampu
bersaing dan menjadi penyeimbang sekaligus melengkapi khasanah kesusastraan
Indonesia. Terima kasih.
Timur Budi Raja
Nono
Warnono:
MERAWAT
MERUWAT
Menjulang
Penanggungan dan Welirang
Diantara
tasbih tahmid dedaunan
Merawat patirtan*
sejak purba
Meruwat ritual tiga puluh tiga
titik mata air
Dari
empat penjuru yang menyatu
Bejana-bejana dengan japa
mantra terapal
Memancar
mancur dzikir doa keselamatan
Sejarah
dan legenda tercandi
Manunggal tirta suci
Bumi
lelah dijarah dengan pedang peraturan
Ditindih
dosa kemaksiyatan tanpa tabir
Diporakporandakan
kecongkakan
Saatnya
diruwat* dijamasi
Patirtan
Jalatunda, Akhir Desember 1994
Patirtan (jw): pemandian
Diruwat dijamasi(jw) : disucikan
Nono Warnono:
WAYANG BEBER*
Pemberontakan
menggila tanpa senjata perang pada lazimnya. Tidak dengan merampas laksa nyawa
manusia di palagan Baratayuda. Bukan menikam dengan hunusan dendam kesumat darah anyir saling mematikan. Karena irama gending
menyelaras laku panggung dengan kilatan
jalan cerita
Dengannya musuh
bergelimpangan tiba-tiba. Mengacungkan bendera putih tanda menyerah dan
pengakuan nilai sebuah santiaji*. Menghentikan
laku murka keangkaraan, penindasan namun melangit keluhuran. Panglima itu
adalah wewayangan japamantra dengan membawa blencong* pencerah palagan.
Dengannya gamelan
kehidupan mengharmoni keserasian makna
tetabuhan* jiwa. Ketika sinden-sesendonan*
keelokan rasa keindahan susastra mengalir berliku dalam jernih nirwana. Dalang
melakonkannya penuh keseimbangan cerita
panji. Tentang perhelatan perang tanding kiri-kanan mendaulat kebenaran
Balai Pasunggingan Bejiharjo Gunungkidul Yogjakarta 1995
Wayang
beber (jw) : wayang yang berkembang di jawa (Gunung Kidul), berupa lembaran
bergambar tokoh yang dilakonkan.
Santiaji
(skt): pemberian petunjuk
Blencong
(jw): lampu penerang pada pagelaran wayang.
Tetabuhan(jw)
: gamelan
Sinden
sesendonan(jw) : gending penyanyi dalam pagelaran wayang
Nono
Warnono:
KETIKA GELOMBANG PASANG
Gemuruh hempasan angin barat menyapu masa
Hamparan desa menjadi penuh noda dan berdebu
Lorong-lorong kota sarat deru nafsu
Burung-burung terusik terbang penuh birahi
Kamar-kamar hati menjadi gelap dari cahaya Ilahi
Dada-dada berlumur tragedi
Ketika gemulung ombak barat menerjang
Menenggelamkan perahu-perahu di lautan biru
Terbentur karang-karang dekadensi
Terseret kemunafikan dan kekufuran
Mendewakan segala yang duniawi nan nisbi
Ketika angin dan gelombang terus menerjang
teguh tegar dengan pilar-pilar berpendar
Menghunjamkan akar-akar imani
Berpegang tali-tali Sunnah dan
Ayat Suci
Penanda arah perjalanan panjang nan hakiki
Bojonegoro, 1995
Nono Warnono:
JEJAK-JEJAK BUTIR
PASIR
Unta yang dicocok hidung menderum atas batu pasir
Mengorek torehan sejarah jazirah
Badai gurun mengguncang peradaban
Sirah nabi-nabi yang menjadi ibrah
Nuh dan anak durhaka pengingkar tauhid
Kecongkakan umat yang dhaif menjadi sembelit
Mentuhankan diri atas sang Khalik
Azab banjir bah adalah sebuah jawaban bijaksana
Luth dan umat yang fasik
Sodom yang merupa laku kebinatangan
Tak lelah risalah disampaikan butir-bitir hikmah
Lagi-lagi adzab pasti akan membinasakan
Rasul Muhammad dengan kegemilangan Badar
Lalu keterpurukan perang Uhud berebut ghonimah*
Jadi kacabenggala perjalanan sejarah
Jejak tarbiyah tentang hamba-hamba serakah
Serang, 23
Desember 1996
Ghonimah (arab) : rampasan perang dari orang musrik yang
kalah perang.
Nono Warnono:
DI BIBIR PANTAI
DAN OMBAK DI DADAMU
Kau yang tercenung
menung di bibir pantai sejurus horison di seberang laut terhampar. Angin muson
Australia kering dingin menuju Asia menandai pancaroba. Terik siang membakar
legam kulit saat desir malam kelu lidah membeku rasa.
Sementara tengoklah
gemuruh dadamu dalam debur karsa samodera asa. Fenomena peralihan masa antara
tangis bocah dan jerit pengampunan dosa. Ketika usia senja tenggelam di
cakrawala. Puing-puing nista belum kau hanyutkan ditengah samodera sesal.
Engkau terus ragu
jikalau pantai ini akan sirna ketika tsunami pamungkas menerjang. Sementara rakitan
perau tiada guna karena kita bukan Nuh manusia pilihan. Dunia bukan pelabuhan
terakhir karena pasti ada kehidupan sesudah mati
Antara Masjid Aschabul Kahfi dan Pantai Bom Tuban 1997
Nono
Warnono:
PEMUJA
Yang mengalir
sengsem* menyukma rasa
Bintang
gemintang dan rembulan yang bersolek di kebiruan telaga
Menyapa
ombak samodra mimpi di ujung malam
Mendekap
angin di senja raga
Atau
mentari yang membimbing bumi dengan benderang cahaya
Yang
sepoi mesra mengelus jiwa
Gadis-gadis
sahaja diantara bebatuan sungai bermain
tawa
Diantara kicau burung di tengah
hutan dan hewan tetegaran*
Di sudut lain suara bising kilatan syahwat wanita penjaja birahi
mengusir kicau burung mengeruh menista sungai hati
Yang
menenteramkan pengembaraan kalbu
di relung hakiki
Suara
adzan yang bergema ke ujung langit
Diantara
malaikat yang tafakur tak henti memuja
Mendongak Arys yang silau cahaya
Catatan Sijjin* dan Illiyyin* yang kelak
dipertanggunjawabkan
Masjid
“Al-Abror Desember 1998
Sengsem(jw) : rasa senang dan damai
Tetegaran (jw) : berlari kencang
Sijjin (arab) : tempat adzab dibawah bumi ketujuh
Illiyyin (arab): tempat
kebaikan di langit ketujuh
Nono Warnono:
KITAB KUNING DALAM JIWA MENGHENING
Lembar demi lembar
menghampar dimeja kecil berderet diantara sila anak-anak tawaduk. Menambah
harakat dalam lingkar baris halaqah yang dibedah simbah penuh hikmah. Menjadi
embun menetes diantara kerontang jiwa yang tiba-tiba terbasuh aliran iman.
Wajah-wajah tawajuh yang kadang terpejam mata menyelami makna makrifat dari
sang guru bersorban ilmu.
Lembar demi lembar
mewahana keluasan jiwa yang merenda perjalanan hidup anak manusia. Tentang
tausiyah pitutur luhur mengenai jalan terang dan lorong gelap kehidupan silih
berganti ditata rasa. Lalu menyelam di kedalaman makna kesementaraan hidup dan
darul-akhirah* mengenai bekal dan beban yang dipertimbangkan.
Lembar demi lembar
perjalanan hidup lekas dibuka dan ditukarpahala atau dosa. Kadang ingin kembali
ke masa lalu dan membenahi langkah yang terlanjur sesat. Kadang ingin membasuh
tangan-tangan nista yang pernah menjamah alpa dosa. Selanjutnya tak kuasa
melawan takdir karena hidup bukan bangku sekolah yang dapat diulang kembali. Hanya
istiqfar dan penghambaan yang dapat dijalani jiwa-jiwa menghening digiring
menuju peradilan hakiki.
Masjid Almakruf Gajah Indah Village, 18 Mei 1999
Darul
akhirah (arab): kampung akhirat
Nono Warnono:
DARI TITIK NOL
Jari-jari dan diameter langkah kembara
Telah jauh dari sisi relung jiwa seribu makna
Dinding-dinding lingkaran asa menyeret langkah terjauh
Mengitari hidup kehidupan nisbi
Masih tersesat kemana harus berangkat dan kembali
Jari-jari dan diameter kelana dunia
Berputar dalam gelinjang kembara
Terus mencari cerita indah nan tercecer
Diantara penyamun sepanjang jalan berotasi
Mencari dan terus mencari meski kecewa takterperi
Jari jari telah dilalui sepanjang diameter ikhtiar
Menghitung kegagalan langkah-langkah liar ambisi
Memikul beban dalam sedu-sedan tangis menggerimis
Menyusuri jalan kepasrahan
Kembali pulang ke titik awal dengan selaksa tawakkal
Tuban, Januari
2000
Nono Warnono:
POTRET KETIGA
PERHELATAN
Terop megah pelangi hati diantara sketsel dekorasi
Bunga-bunga membingkai panggung cinta
Tamu-tamu menghias deretan kursi bercita warna
Menderai tawa sunggingan jiwa-jiwa merdeka
Lampu-lampu kamera berebut suasana
Lukisan asmara dalam pigura waktu yang tersungging
Berdesakan rasa handaitaulan mangayubagya*
Diantara irama sendok garpu dalam piring keceriaan
Tiba-tiba gulita langit membuntal kelam mencekam
Puting beliung menyapu kaki langit memporak-poranda
Tenda-tenda beterbangan meja-kursi teronggok
Orang-orang lintang-pukang jerit tangis anak-anak dalam
gendongan
Saat potretan ketiga baru saja usai di panggung
perhelatan
Glagah Lamongan, 13 Januari 2003
Mangayubagya (jw) : ucapan selamat
Nono Warnono:
DI KAKI LANGIT
JINGGA
Menyisir pantai selatan diantara lembah dan kaki bukit
Lalu menanjak curam batu menyembul tak beraturan
Lorong-lorong tanah gerusan air hujan
Kembara jiwa yang tak pernah purna
Menunggu purnama
Dari atas bukit mimpi melukis langit jingga
Menggembala jiwa nan terus bergelora
Menyusur waktu dari hari ke hari mencari hakiki
Menguntai mimpi tentang negeri yang menawan hati
Yang tengah terbaring sakit tak terperi
Di kaki langit yang semakin sesak kebencian
Nyanyian kebohongan menghibur kemunafikan
Cerdik pandai tergilas tipu daya
Ulama berebut singgasana
Kugali lorong pertapaan bersembunyi jiwa dalam keramaian
Pacitan, 15 Januari 2004
Nono Warnono:
PENYINTAS
Kegagapan menemu makna menjelaga ruh
Membahasa yang tak terbaca
Tarikan nafas kehidupan renta
menyesak ruang pertaruhan
Ketika hidup berhukum rimba
Mengemas wacana budak kekinian
Berbalur puji kemenangan
Meski merundung anak-anak dan perempuan
Jahiliyah yang terus dipertontonkan
Kegentingan fakta liar memapar
Segenap sendi kehidupan
Peradaban berdarah-darah
Kekerasan dosa-dosa membanjir bah
Sebuah perjalanan panjang tanpa arah
Gresik, 19
Pebruari 2005
Nono Warnono:
FATWA-FATWA
Disakral astral makhluk-makhluk aneh
Tiba-tiba banyak hama rayap menggerogoti kitab suci
Pelan-pelan membenci dalam sunyi senyap
Lembar demi lembar musnah diam-diam
Tiba-tiba bicara pendeta di altar-altar dusta
Mentuhan diri dalam tipu-daya
Berimajinasi fatwa-fatwa dalam segala
Jalan sesat yang terus dipelihara dengan kacamata kuda
Tiba-tiba barisan habaib dan ulama bertopeng
Bertausiyah dengan selaksa dalil-dalil jahil
Fatwa-fatwa berbusa hanya akal logika
Fatwa setan yang gentayangan di akhir jaman
Dalam segenap dimensi hidup tak berperadaban
Jakarta, Maret
2007
Nono Warnono:
MELAMPAUI KEBENCIAN
Kalut risau menyergap rasa
Keberagaman yang terkoyak kesumat
Keberagamaan yang tersayat sembilu kebencian
Dusta syetan dalam syahwat neraka jahanam
Tali cinta nan terikat sutra teruntai megah
Dalam peradaban berpilar keteguhan nash Tuhan
Berkelindan dalam kebersamaan nafas asa
Tiba-tiba terjegal syahwat ambisi semenjana
Wadah indah haribaan pertiwi bermahkota ratna intan
baiduri
Aliran sungai surga lembah ngarai menjulang gunung emas
permata
Bidadari dalam tari sufi senantiasa dengan doa menjuntai
Para pertapa menjaga kesunyian singgasana raja
Tiba-tiba badai keculasan serakah yang mengharu biru
Jakarta, 24 Maret
2008
BIOGRAFI PENYAIR
NONO WARNONO (SUWARNO)
Lebih dikenal dengan nama Nono Warnono dalam dunia
kepengarangan,sejatinya memiliki nama asli Suwarno. Lahir pada tanggal 14 Juli 1964 di
Bojonegoro, sehari-hari sebagai Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan
Kabupaten Bojonegoro.
Sejak duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru tahun 1982
sudah menggemari dunia tulis-menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Tulisan bahasa Indonesia berupa puisi, cerpen, dan opini yang tersebar di
berbagai koran dan majalah. Dalam bahasa Jawa karyanya berupa cerkak (crita
cekak), geguritan (puisi), cerita misteri dan opini yang berupa buku maupun
dimuat diberbagai koran dan majalah, seperti Jawa Pos, Mimbar Agama, Panjebar
Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekarsari, Darmajati, dll.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan mengantarkannya sebagai Guru Teladan
Nasional Tahun 1998 dengan makalah
berjudul: “Revitalisasi Pendidikan Budi Pekerti melalui
Pembelajaran Bahasa Jawa”, sehingga mendapatkan apresiasi sebagai kepala sekolah
termuda di Bojonegoro saat itu. Penulis yang nyambi sebagai dosen diberbagai
perguruan tinggi swasta ini pada tahun 2014 juga meraih predikat sebagai Instruktur Nasional terbaik dalam
implementasi Kurukulum 2013 (K-13).
Sebagai sastrawan jawa, pada tahun 2014 menerima
penghargaan Hadiah Sastra Rancage berkat antologi cerkaknya berjudul “Kluwung” yang diterbitkan oleh penerbit Azza Grafika dan sanggar
sastra Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) dimana dia juga sebagai salah
satu penggeraknya.
Buku-buku Pendidikan
yang telah diterbitkannya antara lain: “Evaluasi
Belajar Sekolah Dasar” (1998), Silabus Pendidikan Kepramukaan (2017), Buku
materi ajar mulok “Matoh Basa Jawa” Kelas
I-VI (2015), Buku Pendidikan “Perspektif”. Buku-Buku sastra :
Antologi Gurit
“Sanja” (2011), Antologi Cerkak “Kluwung” (2014), Crita Misteri “Malaikat Jubah
Putih” (2014), (2016) dan Antologi Geguritan “Kidung Langit” (2018). Serta buku kumpulan puisi berbahasa Indonesia
dengan judul :“Nyaynyian Bidadari.
Buku antologi Kidung Langit pada tahun 2018 memperoleh
apresiasi dari Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) sebagai karya sastra jawa terbaik
melalui Penghargaan Sutasoma.
Beberapa buku
yang ditulis bersama pengarang lain yaitu: Antologi bersama “Tes…”(1997),
Antologigurit “Bojonegoro Ing Gurit” (2006), Antologi Cerkak “Blangkon” (2006),
Antologi gurit “Tunggak Jarak Mrajak” (2010), Antologi cerkak Pasewakan (2011),
Antologi gurit “Mlesat Bareng Ukara” (2014), dan Bunga Rampai Puisi-Cerpen
“Lingkar Jati” (2015)., Bunga Rampai PSJB (2018).
Disela-sela tugas kedinasan masih
menyempatkan berkiprah di beberapa organisasi kemasyarakatan: Pengurus Kwartir
Cabang Gerakan Pramuka Bojonegoro, Pengurus Dewan Kebudayaan Bojonegoro, Ikatan
Pengurus Haji Indonesia (IPHI) Bojonegoro dan secara intens turut melestarikan
budaya jawa sebagai panatacara.
Bersama istri
tercinta Lilik Endang Wardiningsih, kini tinggal di Perumahan Gajah Indah
Village Blok O No.18-19 Gajah -Baureno-Bojonegoro dengan putri semata wayang Laras Gupitasari.
Email: suwarnobbt@gmail,com. Telp.(0322)454667
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar