Rabu, 25 Maret 2020

Antologi Puisi Meruat Halaman Belakang (Nono Warnono 2019)

Spiritualitas dan Kelenturan Ruang
(Pengantar Puisi Nono Warnono)

Mungkin salah satu hal yang perlu saya catat dalam perjalanan kepenyairan saya adalah bertemu dengan Nono Warnono. Mengapa demikian? Tentu saja karena saya juga menulis puisi. Saya butuh refrensi yang lebih dari sekedar buku: sesuatu yang lebih riil (pengalaman manusia). Literasi itu saya nikmati dari obrolan sederhana yang terjadi, juga ketika membaca karya-karyanya.
Nono datang dengan cara yang sesederhana justru ketika dunia kepenyairan sedang dilanda megalomaniak akut; sebuah lingkaran yang entah mengapa begitu susah belajar menunduk dan terlalu pongah. Ya, sangat sederhana: sebagai pribadi, pun puisi-puisi yang ia bawa pada saya.
Sekali lagi, saya mencintai ”kesederhanaan”. Sebuah konsep yang—bila mengacu pada dekonstruksi Jacques Derrida—lebih tepat kiranya disebut sebagai ”simbol”. Karena, kesederhanaan itu ada sekaligus tiada. Saya masuki pengalaman kesederhanaan dan lautan simbol itu begitu terasa ketika membaca sekaligus menikmati puisi pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pendidikan di Bojonegoro.
Yang perlu saya garis bawahi selama proses kurasi puisi-puisi Nono adalah cara saya memilah antara karya dan penulisnya. Jujur saja, tanpa mengenal sosok Nono sebagai pribadi, mungkin saya akan kesulitan memahami puisinya. Saya melihat, karya dan pribadi Nono adalah dua hal yang sulit dicari batas pemisahannya. Mungkin kesulitan saya menyelami (dari sisi teks) terjadi karena cara berpikir dan konsep puisi (ideal) di kepala saya adalah sesuatu yang kontemporer. Ya, saya terlalu jauh masuk ke dalam ”pasar puisi” kontemporer yang umum dan kanonis. 
Singkatnya, mengapa saya menganggap puisi Nono berbeda dari puisi pada umumnya adalah karena keseluruhan puisinya (sebagai teks) begitu membumi; puisi yang tak hendak pergi ke kota sebagai urban. Semacam puisi yang tidak latah untuk meliar—mencoba lari dari penjinakan bahasa.
Sebelum masuk lebih jauh untuk membicarakan puisinya, saya melakukan scaning; membaca cepat puisinya dan mencari hipotesis yang saya anggap paling tepat untuk menjawab: mengapa puisi Nono selamat dari wabah puisi kontemporer? Pada awalnya, saya berpikir diksi-diksi Jawa dan sentuhan Islam membuat puisi Nono jadi berbeda. Meski ternyata, saya akui sendiri bila analisis saya memang tidak sepenuhnya benar.
Karena unsur-unsur Jawa dan Islam—yang awalnya saya anggap sebagai kerangkeng bahasa—pernah disalahpahami bersama sebagai unsur pembelenggu. Sebuah konsep yang normatif; tempat di mana segala yang liar harus dijinakkan dalam kesantunan yang formal. Padahal, bila meletakkan sejenak puisi Nono dan masuk lebih dulu ke dalam Jawa dan Islam sebagai satu kesatuan nilai, ternyata punya dimensi yang sangat luas dan menghasilkan pengalaman tersendiri.
Harus saya akui, Jawa dan Islam adalah titik pijak yang menawarkan cakrawala baru yang justru lebih liar, radikal bahkan nampak liberal. Mengapa liberal? Tentu saja, karena konsep itu penuh dengan sesuatu yang paradoksal. Penuh cabang dan liku-liku yang membuat desiran ganjil di batin. Misteri yang ada di dalamnya dan beberapa ritus yang melatarbelakangi kebudayaannya menyajikan tirai misteri yang perlu didekonstruksi lebih dalam agar sampai pada lapis-lapis makna yang tak terduga. Jadi, klaim keliaran—yang selama ini untuk gincu kosmetik dunia kesusastraan—bukan hanya milik urban.
Tanpa bermaksud membela, harus saya akui, puisi Nono memang cukup menarik sebagai ”gejala”, tetenger, atau papan penunjuk arah agar manusia tahu jalan pulang. Sedangkan sebagai teks, masih banyak ruang debat yang perlu dilewati guna menguji kelayakan puisi Nono melengkapi kesusastraan Indonesia.
Menjadi Otentik dalam Spiritualitas (Jawa dan Islam)
Di dunia kesusastraan Indonesia hari ini, saya melihat ada sebuah pola arus yang melingkar. Kalau pada awalnya, urban adalah alternatif lain di tengah pola pandang lama kesusastraan Indonesia, tapi hari ini mendadak urban adalah sesuatu yang mayor. Setelah urban seolah jadi ”kanon” dan menjadi tema sentral, saya justru melihat gejala inferioritas yang tersembunyi di balik karya-karya yang keluar dan tercatat.
Belum sah sebagai puisi kalau belum urban. Mungkin penilaian saya berlebihan. Tapi, ketika saya didaulat untuk mengkurasi karya-karya penyair di daerah, saya dikejutkan oleh tumpukan ”puisi buah-sayur” yang hendak pergi ke kota. Bahkan di dalam obrolan dan diskusi sastra dengan beberapa rekan, saya mendapati  celetukan yang menyayat: hari ini penyair mana yang sanggup tidak terjebak  untuk menjadi afrizalian? 
Mungkin dari sinilah saya angkat topi pada Nono. Tema-tema spiritual dengan bumbu Islam dan Jawa adalah caranya menjadi otentik sebagai penyair; sebagai penulis. Yang saya maksud otentik di sini adalah minimnya ruang untuk membelah antara penyair dan karyanya. Saya rasa, ada dua kemungkinan mengapa nuansa Jawa begitu kental pada puisi Nono. Pertama, Nono adalah penulis puisi berbahasa Jawa yang sudah punya nama. Kedua, Jawa sebagai konsep dan sikap hidup begitu melekat kuat dalam kehidupan penulis.
Faktor ke dua ini juga didukung oleh kemungkinan yang ketiga. Di mana dalam pembacaan saya, Nono adalah tipikal penyair lama yang konservatif. Dia tidak terburu-buru untuk menjadi sesuatu atau dengan kata lain: tidak mudah tercerabut dari akar kebudayaannya. Tema spiritualitas dalam puisi Nono inilah yang kemudian menjadi kekuatan sekaligus jurang dalam yang menggelincirkan penulis.
Bila mengacu pada istilah: ”kata, konsekwensi dan tanggung jawab sosial”, bisa jadi puisi Nono ada di wilayah itu. Istilah yang baru saja saya sebut merupakan satu kesatuan konsep yang berarti kata punya konsekwensi serta memiliki tanggung jawab sosial. Artinya, kata tidak lahir begitu saja, tapi punya sejarah; refren yang jelas di kehidupan penulis. Penulis semacam ini memperlakukan kata sebagai sesuatu yang ideologis, bukan praktis.
Sebagai penyair lama, Nono menjadikan kata sebagai sesuatu yang kudus, berkaitan dengan keyakinan dan bukan sekedar persoalan strategi bahasa semata untuk politik konstruksi makna; sekedar indah tapi rentan pada substansi. Meski caranya berbahasa punya dasar yang jelas, tapi bagi saya, puisi tidak hanya sekedar substansi yang tak mempertimbangkan sisi estetik. Bagi saya, tanpa strategi bahasa—untuk mengejar sisi estetik—puisi telah kehilangan separuh kekuatannya.
Karena, terkadang getaran yang ditimbulkan dari ledakan estetik itulah pembaca dapat menggali makna secara pribadi dan mampu terlepas serta merdeka dari makna sebenarnya yang ditulis oleh penyairnya. Jalan puisi yang Nono tempuh memang bagus, meski bukan tanpa cela. Kumpulan puisi ini memiliki kecenderungan untuk mengkuliahi pembaca tentang apa yang seharusnya dilakukan. Tapi, yang membuat puisi ini jadi ”mahal” adalah karena makna di dalamnya disajikan dalam sesuatu yang utuh dan bulat. Apa yang menjadi Jawa dan Islam tampil sebagai teralis pembatas agar pembaca tidak terjebak pada nihilisme Nietzsche sebagaimana yang ditawarkan puisi bertema urban—nampak merdeka tapi kosong dan cepat hilang. Bila puisi urban memang nampak gagah dan kompleks sebagai keindahan, tapi kepungan diksi di dalamnya justru mengaborsi dirinya sendiri. Berbeda dengan puisi Nono, mistisme yang sufistik pada antologi puisi ini punya kemungkinan mendekonstruksi dirinya sendiri menjadi ”alternatif lain” mengatasi puisi-puisi urban para nihilis.
Untuk lebih memahami puisi Nono, sebaiknya saya menguliti beberapa puisinya untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai strategi penyair mengolah puisi-puisinya. Seperti pada puisi Merawat Meruwat dapat dilihat cara penyair menyajikan makna—yang final—dengan caranya sendiri.
Menjulang Penanggungan dan Welirang
Di antara tasbih tahmid dedaun
Mengasuh  pemandian purba
Disucikan titik mata air tiga puluh tiga
Dari empat penjuru

Bejana-bejana mantra terapal japa
Memancar doa selamat
Candi sejarah dan legenda  
Manunggal  tirta.

Saatnya bumi diruwat,
Dijamasi dari congkak dan maksiat.
Sebagaimana lazimnya puisi lama makna dan pesan disajikan dengan cara yang runtut. Pada puisi merawat meruwat, puisi dibuka dengan latar atau seting. Di bagian kedua, masuk pada proses yang melengkapi latar puisi. Dan di bagian terakhir, pesan—yang (nampak) final—itu dibawa dengan gamblang pada kata: saatnya bumi diruwat / dijamasi dari congkak dan maksiat. Di bagian akhir puisi dapat ditangkap pesan beserta penjelasan mengenai alasan mengapa (sekarang adalah) saatnya bumi diruwat.
Sedangkan mengenai konsep nilai Jawa dan Islam mungkin dapat diwakili pada puisi Pemuja. Berikut ini saya tampilkan secara utuh agar lebih jelas:
Sengsem*  menyukma
Bintang, bulan di biru telaga
Ketika angin senja
Bumi dengan cahaya

Lembut  jiwa
Di bebatu sungai, gadis-gadis tertawa
Di antara kicau dan tetegaran* hewan hutan
Di sudut kilatan syahwat wanita penjaja

Ke relung, kalbu mengembara
Mendongak Arys yang silau cahaya
Dari catatan Sijjin* dan Illiyyin*

Puisi inilah yang saya sebut di awal sebagai cara menjadi otentik dalam spiritualitas (Jawa dan Islam). Puisi ini jelas memiliki realitasnya di mana digambarkan pada bagian kedua di puisi ini. Sedangkan para bagian pertama, seperti saya katakan di awal—sebagaimana khas penyair lama—membuka puisi dengan citraan alam sebelum masuk pada realitas. Sedangkan di bagian ketiga puisi ini memang masih berupa lanskap yang menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa disikapi. Untuk memungkasi caranya memandang realitas, ia menggunakan: Arys yang silau cahaya / Dari catatan Sijjin* dan Illiyyin*.
Kata Sijjin dan Illiyyin inilah yang menjadi kunci cara pandang penyair pada sebuah realitas. Meski dua kata tersebut digunakan untuk melumrahkan sebuah peristiwa sehingga jelas presisinya dalam konteks nilai, tapi dua hal ini pula memiliki peluang untuk diarungi lebih dalam. Inilah yang saya sebut di awal sebagai kesederhanaan yang tidak sederhana, tapi lebih tepat bila dikatakan sebagai simbol.
Kalau pada umumnya puisi (lama) punya potensi untuk mendikte pembacanya dalam hal pemaknaan, tapi ending yang dihadirkan penyair—idiom-idiom dari kamus Islam—justru membuka ruang untuk diselami lebih jauh. Sedangkan untuk puisi Merawat Meruwat, saya ingin menggaris bawahi bagian ketiga pada kata meruwat. Kata ini juga punya potensi untuk diturunkan ke dalam konteks yang lebih luas maknanya. Pembaca dapat mendekonstruksi puisi ini menjadi sesuatu yang benar-benar baru.
Idiom Jawa dan Islam, yang selama ini dipandang kritikus sebagai kerangkeng makna, tidak terbukti pada puisi Nono. Meski puisi ini nampak begitu sederhana (dari keseluruhan teks, terutama strategi puitik yang diambil), tapi puisi ini mampu membuka dirinya sendiri untuk diterjemahkan dengan cara yang berbeda bergantung pada pengalaman pembaca menggeluti Islam dan Jawa.  
Karena sebagaimana dekonstruksi yang dikemukakan Derrida, bila tidak ada yang permanen dalam teks; sesuatu yang bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang berbeda. Selain itu, tak ada tafsiran dominan atas teks nono yang sifatnya otoritatif. Dan sebagaimana yang Derrida kemukakan, yang bisa ditemui dalam teks adalah  jejak-jejak (trace) dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Serta konsep iterabilitas, di mana kemampuan teks untuk dapat dimaknai dalam konteks yang berbeda-beda.
Kekuatan pada teks di antologi ini adalah kemampuannya menjadi simbol Jawa dan Islam, tapi tetap dapat dimaknai karena sifatnya lentur. Karena, konsep Jawa dan Islam yang digunakan di puisi ini bukanlah pagelaran kata benda, melainkan konsep yang bebas tafsir.
Meski saya memiliki apresiasi pada puisi-puisi Nono, tapi saya perlu melihatnya dengan helicopter view, yakni melihat secara keseluruhan teks puisi dari antologi ini. Saya melihat adanya paradok yang sebenarnya cukup mengganggu. Karena, bila penyair hendak mengawinkan antara puisi bahasa Indonesianya dengan nilai Jawa dan Islam, maka seharusnya ia memiliki kekayaan bahasa. Ia bisa lebih merdeka mengeksplor kata dan berbagai idiom Jawa untuk dijadikan sarana pembaca berselancar mencari makna sendiri-sendiri tanpa bergantung pada makna sebenarnya yang dimaksudkan penulis.
Tapi, dalam puisi ini saya melihat adanya keterbatasan, dalam arti masih ada pengulangan-pengulangan istilah yang ada di beberapa puisi. Terus terang hal ini mengganggu saya dan menjadi paradok atas puisi-puisi Nono. Bila penyair mampu membawa pembaca berselancar imajinasi dan pikiran pada nilai-nilai Jawa dan Islam yang sangat debatable, mengapa ia tak memaksimalkannya. Inilah yang saya sayangkan.
Apa yang baru saja saya sampaikan ini pun masih bersifat dugaan. Karena, refrensi secara teks, tidak akan cukup tanpa melihat pribadi Nono sebagai seorang kawan yang rendah hati. Karena, mungkin saja saat ini Nono sedang berpuasa: mampu melakukan sesuatu yang lebih dalam puisinya, namun ia memutuskan untuk mencukupkan atau membatasi sebagaimana dalam ritus budaya Jawa dan syariat Islam. Selain itu, yang tak kalah penting untuk saya sampaikan adalah apresiasi saya pada antologi ini di mana, karya ini merupakan perpaduan antara cara pandang atas realitas, ideologi yang kemudian menetes sebagai puisi.
Mengatasi Kelimpahruahan
Terus terang saya tidak punya maksud untuk membanding-bandingkan puisi urban dengan tema puisi Nono. Karena, setiap puisi punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, yang ingin saya sampaikan di sini bukanlah mengenai baik-buruk sebuah puisi dan mana yang lebih unggul. Yang ingin saya tekankan adalah pada relevansi—mana yang lebih dibutuhkan oleh zaman dan dunia kesusastraan hari ini.
Seperti yang saya katakan di awal, saya sempat mengalami kesulitan masuk ke dalam puisi Nono lantaran mindset yang ada di kepala saya adalah sesuatu yang sifatnya urban. Mungkin hal ini wajar lantaran kedegilan kanonisasi sastra yang saat ini terjadi terbukti tak mampu dikurangi hegemoninya oleh media sosial dan komunitas.
Ketika ”puisi pasar” sedang demam pada sesuatu yang mambu urban, puisi Nono jadi punya tempat guna memberi jeda agar seseorang kembali ke dalam mesjid kampung yang sebenarnya sudah ada di dalam diri pembaca. Mesjid itulah yang sedang berdebu dan suwung karena puisi—yang sebenarnya mampu sebagai alat refleksi batin—hari ini hanya berisi liarnya sampah-sampah kota yang nampak indah dan megah tapi sebenarnya keropos. Puisi hari ini tidak lebih hanya melanggengkan kelimpahruahan objek yang (secara tidak langsung) memupuk konsumerisme pembacanya.
Mengapa demikian? Tentu saja karena puisi hari ini nampak seperti semburan benda-benda (objek) yang mengepung dan melingkupi manusia. Sementara puisi Nono bukanlah semburan objek yang menyebabkan kelimpahruahan, melainkan sajian konsep yang debatable. Dan Nono pun tak hendak memaksakan makna dan nilai-nilai, tapi mengajak pembaca—khususnya yang juga orang Jawa dan Islam—kembali pada apa yang sejati. Dan definisi kesejatian itu sudah ada di dalam diri dan kesadaran masing-masing pembaca.
Bila puisi urban dan segala gemerlapnya adalah kelimpahruahan objek, maka puisi Nono adalah ”ruang” tempat menyimpan kelimpahruahan itu untuk diolah menjadi cahaya. Karena, menurut saya tidak ada baik-buruk. Kalau pun ada ledakan implusif yang sifatnya destruktif, itu hanya bagian dari dismanajemen benda-benda dan akibat dari kurangnya ruang untuk menampung.
Apakah melalui antologi ini Nono bebas dari pekerjaan rumah? Tentu saja tidak! Ada pencapaian-pencapaian artistik yang perlu digali lebih dalam agar tidak berhenti pada kata sederhana. Tapi, dalam segi tema, puisi ini jelas mampu bersaing dan menjadi penyeimbang sekaligus melengkapi khasanah kesusastraan Indonesia. Terima kasih.


Timur Budi Raja





Nono Warnono:

MERAWAT MERUWAT

Menjulang Penanggungan dan Welirang
Diantara tasbih tahmid dedaunan
Merawat  patirtan* sejak purba
Meruwat ritual tiga puluh tiga titik mata air
Dari empat penjuru yang menyatu

Bejana-bejana dengan japa mantra terapal
Memancar mancur dzikir doa keselamatan
Sejarah dan legenda tercandi
Manunggal  tirta suci

Bumi lelah dijarah dengan pedang peraturan
Ditindih dosa kemaksiyatan tanpa tabir
Diporakporandakan kecongkakan
Saatnya diruwat* dijamasi


Patirtan Jalatunda, Akhir Desember 1994

Patirtan (jw): pemandian
Diruwat dijamasi(jw) : disucikan









Nono Warnono:

WAYANG BEBER*

Pemberontakan menggila tanpa senjata perang pada lazimnya. Tidak dengan merampas laksa nyawa manusia di palagan Baratayuda. Bukan menikam  dengan hunusan dendam kesumat darah anyir  saling mematikan. Karena irama gending menyelaras laku  panggung dengan kilatan jalan cerita

Dengannya musuh bergelimpangan tiba-tiba. Mengacungkan bendera putih tanda menyerah dan pengakuan nilai sebuah santiaji*.  Menghentikan laku murka keangkaraan, penindasan namun melangit keluhuran. Panglima itu adalah wewayangan japamantra dengan membawa blencong* pencerah palagan.

Dengannya gamelan kehidupan mengharmoni  keserasian makna tetabuhan*  jiwa. Ketika sinden-sesendonan* keelokan rasa keindahan susastra mengalir berliku dalam jernih nirwana. Dalang melakonkannya penuh  keseimbangan cerita panji. Tentang perhelatan perang tanding kiri-kanan mendaulat kebenaran

Balai Pasunggingan Bejiharjo Gunungkidul Yogjakarta 1995

Wayang beber (jw) : wayang yang berkembang di jawa (Gunung Kidul), berupa lembaran bergambar tokoh yang dilakonkan.
Santiaji (skt): pemberian petunjuk
Blencong (jw): lampu penerang pada pagelaran wayang.
Tetabuhan(jw) : gamelan
Sinden sesendonan(jw) : gending penyanyi dalam pagelaran wayang


Nono Warnono:

KETIKA GELOMBANG PASANG

Gemuruh hempasan  angin barat menyapu masa
Hamparan desa menjadi penuh noda dan berdebu
Lorong-lorong kota sarat deru nafsu
Burung-burung terusik terbang penuh birahi
Kamar-kamar hati menjadi gelap dari cahaya Ilahi
Dada-dada berlumur tragedi

Ketika gemulung ombak barat menerjang
Menenggelamkan perahu-perahu di lautan biru
Terbentur karang-karang dekadensi
Terseret kemunafikan dan kekufuran
Mendewakan segala yang duniawi nan nisbi

Ketika angin dan gelombang terus menerjang
teguh tegar dengan pilar-pilar berpendar
Menghunjamkan akar-akar imani
Berpegang  tali-tali Sunnah dan Ayat Suci
Penanda arah perjalanan panjang nan hakiki


Bojonegoro, 1995


Nono Warnono:

JEJAK-JEJAK BUTIR PASIR

Unta yang dicocok hidung menderum atas batu pasir
Mengorek torehan sejarah jazirah
Badai gurun mengguncang peradaban
Sirah nabi-nabi yang menjadi ibrah

Nuh dan anak durhaka pengingkar tauhid
Kecongkakan umat yang dhaif menjadi sembelit
Mentuhankan diri atas sang Khalik
Azab banjir bah adalah sebuah jawaban bijaksana

Luth dan umat yang fasik
Sodom yang merupa laku kebinatangan
Tak lelah risalah disampaikan butir-bitir hikmah
Lagi-lagi adzab pasti akan membinasakan

Rasul Muhammad dengan kegemilangan Badar
Lalu keterpurukan perang Uhud berebut ghonimah*
Jadi kacabenggala perjalanan sejarah
Jejak tarbiyah tentang hamba-hamba serakah

Serang,  23 Desember 1996

Ghonimah (arab) : rampasan perang dari orang musrik yang kalah perang.




Nono Warnono:

DI BIBIR PANTAI DAN OMBAK DI DADAMU

Kau yang tercenung menung di bibir pantai sejurus horison di seberang laut terhampar. Angin muson Australia kering dingin menuju Asia menandai pancaroba. Terik siang membakar legam kulit saat desir malam kelu lidah membeku rasa.

Sementara tengoklah gemuruh dadamu dalam debur karsa samodera asa. Fenomena peralihan masa antara tangis bocah dan jerit pengampunan dosa. Ketika usia senja tenggelam di cakrawala. Puing-puing nista belum kau hanyutkan ditengah samodera sesal.

Engkau terus ragu jikalau pantai ini akan sirna ketika tsunami pamungkas menerjang. Sementara rakitan perau tiada guna karena kita bukan Nuh manusia pilihan. Dunia bukan pelabuhan terakhir karena pasti ada kehidupan sesudah mati

Antara Masjid Aschabul Kahfi dan Pantai Bom Tuban 1997



Nono Warnono:

PEMUJA

Yang  mengalir sengsem* menyukma rasa
Bintang gemintang dan rembulan yang bersolek di kebiruan telaga
Menyapa ombak samodra mimpi di ujung malam
Mendekap angin di senja raga
Atau mentari yang membimbing bumi dengan benderang cahaya

Yang sepoi mesra mengelus jiwa
Gadis-gadis sahaja diantara bebatuan sungai bermain tawa
Diantara kicau burung di tengah hutan dan hewan tetegaran*
Di sudut lain suara bising kilatan syahwat wanita penjaja birahi
mengusir kicau burung mengeruh menista sungai hati

Yang menenteramkan pengembaraan kalbu di relung hakiki
Suara adzan yang bergema ke ujung langit
Diantara malaikat yang tafakur tak henti memuja
Mendongak Arys yang silau cahaya
Catatan Sijjin* dan Illiyyin* yang kelak dipertanggunjawabkan

Masjid “Al-Abror Desember 1998

Sengsem(jw) : rasa senang dan damai
Tetegaran (jw) : berlari kencang
Sijjin (arab) : tempat adzab dibawah bumi ketujuh
Illiyyin (arab): tempat  kebaikan di langit ketujuh




Nono Warnono:

KITAB KUNING DALAM JIWA MENGHENING

Lembar demi lembar menghampar dimeja kecil berderet diantara sila anak-anak tawaduk. Menambah harakat dalam lingkar baris halaqah yang dibedah simbah penuh hikmah. Menjadi embun menetes diantara kerontang jiwa yang tiba-tiba terbasuh aliran iman. Wajah-wajah tawajuh yang kadang terpejam mata menyelami makna makrifat dari sang guru bersorban ilmu.

Lembar demi lembar mewahana keluasan jiwa yang merenda perjalanan hidup anak manusia. Tentang tausiyah pitutur luhur mengenai jalan terang dan lorong gelap kehidupan silih berganti ditata rasa. Lalu menyelam di kedalaman makna kesementaraan hidup dan darul-akhirah* mengenai bekal dan beban yang dipertimbangkan.

Lembar demi lembar perjalanan hidup lekas dibuka dan ditukarpahala atau dosa. Kadang ingin kembali ke masa lalu dan membenahi langkah yang terlanjur sesat. Kadang ingin membasuh tangan-tangan nista yang pernah menjamah alpa dosa. Selanjutnya tak kuasa melawan takdir karena hidup bukan bangku sekolah yang dapat diulang kembali. Hanya istiqfar dan penghambaan yang dapat dijalani jiwa-jiwa menghening digiring menuju peradilan hakiki.

Masjid Almakruf Gajah Indah Village,  18 Mei 1999

Darul akhirah (arab): kampung akhirat


Nono Warnono:

DARI TITIK NOL

Jari-jari dan diameter langkah kembara
Telah jauh dari sisi relung jiwa seribu makna
Dinding-dinding lingkaran asa menyeret langkah terjauh
Mengitari hidup kehidupan nisbi
Masih tersesat kemana harus berangkat dan kembali

Jari-jari dan diameter kelana dunia
Berputar dalam gelinjang kembara
Terus mencari cerita indah nan tercecer
Diantara penyamun sepanjang jalan berotasi
Mencari dan terus mencari meski kecewa takterperi

Jari jari telah dilalui sepanjang diameter ikhtiar
Menghitung kegagalan langkah-langkah liar ambisi
Memikul beban dalam sedu-sedan tangis menggerimis
Menyusuri jalan kepasrahan
Kembali pulang ke titik awal dengan selaksa tawakkal

Tuban,  Januari 2000



Nono Warnono:

POTRET KETIGA PERHELATAN

Terop megah pelangi hati diantara sketsel dekorasi
Bunga-bunga membingkai panggung cinta
Tamu-tamu menghias deretan kursi bercita warna
Menderai tawa sunggingan jiwa-jiwa merdeka

Lampu-lampu kamera berebut suasana
Lukisan asmara dalam pigura waktu yang tersungging
Berdesakan rasa handaitaulan mangayubagya*
Diantara irama sendok garpu dalam piring keceriaan

Tiba-tiba gulita langit membuntal kelam  mencekam
Puting beliung menyapu kaki langit memporak-poranda
Tenda-tenda beterbangan meja-kursi teronggok
Orang-orang lintang-pukang jerit tangis anak-anak dalam gendongan
Saat potretan ketiga baru saja usai di panggung perhelatan

Glagah Lamongan, 13 Januari 2003

Mangayubagya (jw) : ucapan selamat



Nono Warnono:
      
DI KAKI LANGIT JINGGA

Menyisir pantai selatan diantara lembah dan kaki bukit
Lalu menanjak curam batu menyembul tak beraturan
Lorong-lorong tanah gerusan air hujan
Kembara jiwa yang tak pernah purna
Menunggu purnama

Dari atas bukit mimpi melukis langit jingga
Menggembala jiwa nan terus bergelora
Menyusur waktu dari hari ke hari mencari hakiki
Menguntai mimpi tentang negeri yang menawan hati
Yang tengah terbaring sakit tak terperi

Di kaki langit yang semakin sesak kebencian
Nyanyian kebohongan menghibur kemunafikan
Cerdik pandai tergilas tipu daya
Ulama berebut singgasana
Kugali lorong pertapaan bersembunyi jiwa dalam keramaian


Pacitan, 15 Januari 2004


Nono Warnono:

PENYINTAS

Kegagapan menemu makna menjelaga ruh
Membahasa yang tak terbaca
Tarikan nafas kehidupan renta
menyesak ruang pertaruhan
Ketika hidup berhukum rimba

Mengemas wacana budak kekinian
Berbalur puji kemenangan
Meski merundung anak-anak dan perempuan
Jahiliyah yang terus dipertontonkan

Kegentingan fakta liar memapar
Segenap sendi kehidupan
Peradaban berdarah-darah
Kekerasan dosa-dosa membanjir bah
Sebuah perjalanan panjang tanpa arah

Gresik,  19 Pebruari 2005



Nono Warnono:

FATWA-FATWA

Disakral astral makhluk-makhluk aneh
Tiba-tiba banyak hama rayap menggerogoti kitab suci
Pelan-pelan membenci dalam sunyi senyap
Lembar demi lembar musnah diam-diam

Tiba-tiba bicara pendeta di altar-altar dusta
Mentuhan diri dalam tipu-daya
Berimajinasi fatwa-fatwa dalam segala
Jalan sesat yang terus dipelihara dengan kacamata kuda

Tiba-tiba barisan habaib dan ulama bertopeng
Bertausiyah dengan selaksa dalil-dalil jahil
Fatwa-fatwa berbusa hanya akal logika
Fatwa setan yang gentayangan di akhir jaman
Dalam segenap dimensi hidup tak berperadaban


Jakarta,  Maret 2007


Nono Warnono:

MELAMPAUI KEBENCIAN

Kalut risau menyergap rasa
Keberagaman yang terkoyak kesumat
Keberagamaan yang tersayat sembilu kebencian
Dusta syetan dalam syahwat neraka jahanam

Tali cinta nan terikat sutra teruntai megah
Dalam peradaban berpilar keteguhan nash Tuhan
Berkelindan dalam kebersamaan nafas asa
Tiba-tiba terjegal syahwat ambisi semenjana

Wadah indah haribaan pertiwi bermahkota ratna intan baiduri
Aliran sungai surga lembah ngarai menjulang gunung emas permata
Bidadari dalam tari sufi senantiasa dengan doa menjuntai
Para pertapa menjaga kesunyian singgasana raja
Tiba-tiba badai keculasan serakah yang mengharu biru


Jakarta,  24 Maret 2008



BIOGRAFI  PENYAIR







NONO WARNONO (SUWARNO)
Lebih dikenal dengan nama Nono Warnono dalam dunia kepengarangan,sejatinya memiliki nama asli Suwarno. Lahir pada tanggal 14 Juli 1964 di Bojonegoro, sehari-hari sebagai Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro.
Sejak duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru tahun 1982 sudah menggemari dunia tulis-menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Tulisan bahasa Indonesia berupa puisi, cerpen, dan opini yang tersebar di berbagai koran dan majalah. Dalam bahasa Jawa karyanya berupa cerkak (crita cekak), geguritan (puisi), cerita misteri dan opini yang berupa buku maupun dimuat diberbagai koran dan majalah, seperti Jawa Pos, Mimbar Agama, Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekarsari, Darmajati, dll.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan mengantarkannya sebagai Guru Teladan Nasional Tahun 1998 dengan makalah berjudul: “Revitalisasi Pendidikan Budi Pekerti melalui Pembelajaran Bahasa Jawa”, sehingga mendapatkan apresiasi sebagai kepala sekolah termuda di Bojonegoro saat itu. Penulis yang nyambi sebagai dosen diberbagai perguruan tinggi swasta ini pada tahun 2014 juga meraih predikat  sebagai Instruktur Nasional terbaik dalam implementasi Kurukulum 2013 (K-13).
Sebagai sastrawan jawa, pada tahun 2014 menerima penghargaan Hadiah Sastra Rancage berkat antologi cerkaknya berjudul Kluwung yang diterbitkan oleh penerbit Azza Grafika dan sanggar sastra Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) dimana dia juga sebagai salah satu penggeraknya.
Buku-buku Pendidikan yang telah diterbitkannya antara lain: “Evaluasi Belajar Sekolah Dasar” (1998), Silabus Pendidikan Kepramukaan (2017), Buku materi ajar mulok “Matoh Basa Jawa” Kelas I-VI (2015), Buku Pendidikan “Perspektif”. Buku-Buku sastra : Antologi Gurit “Sanja” (2011), Antologi Cerkak “Kluwung” (2014), Crita Misteri “Malaikat Jubah Putih” (2014), (2016) dan Antologi Geguritan “Kidung Langit” (2018). Serta buku kumpulan puisi berbahasa Indonesia dengan judul :“Nyaynyian Bidadari.
Buku antologi Kidung Langit pada tahun 2018 memperoleh apresiasi dari Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) sebagai karya sastra jawa terbaik melalui Penghargaan Sutasoma.
 Beberapa buku yang ditulis bersama pengarang lain yaitu: Antologi bersama “Tes…”(1997), Antologigurit “Bojonegoro Ing Gurit” (2006), Antologi Cerkak “Blangkon” (2006), Antologi gurit “Tunggak Jarak Mrajak” (2010), Antologi cerkak Pasewakan (2011), Antologi gurit “Mlesat Bareng Ukara” (2014), dan Bunga Rampai Puisi-Cerpen “Lingkar Jati” (2015)., Bunga Rampai PSJB (2018).
Disela-sela tugas kedinasan masih menyempatkan berkiprah di beberapa organisasi kemasyarakatan: Pengurus Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Bojonegoro, Pengurus Dewan Kebudayaan Bojonegoro, Ikatan Pengurus Haji Indonesia (IPHI) Bojonegoro dan secara intens turut melestarikan budaya jawa sebagai panatacara.
Bersama istri tercinta Lilik Endang Wardiningsih, kini tinggal di Perumahan Gajah Indah Village Blok O No.18-19 Gajah -Baureno-Bojonegoro dengan putri semata wayang Laras Gupitasari.
Email: suwarnobbt@gmail,com. Telp.(0322)454667


***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar